"Salah satu hal yang paling tidak
kusukai adalah memakai jas hujan"
Bandung
hari ini, saat aku akan pulang kerumah seusai beres mata kuliah manajemen
ekonomi, langit mulai gelap dan gerimis mulai menembaki tubuhku. Beberapa
mahasiswa yang entah siapa sibuk mencari tempat berteduh bahkan ada yang
memilih berlari lebih kencang agar segera tiba dikelas. Tapi aku tidak . jalan
ku santai tapi dengan langkah yang cukup besar supaya aku bisa segera
mengendarai kendaraanku dan segera sampai dirumah. Sebetulnya dibawah jok ada
jas hujan, jas hujan berwarna hijau tosca pemberian sahabat dekatku Renata,
tapi memang dasarnya aku malas jadi jas hujan itu jarang sekali aku gunakan.
Sebenarnya sih aku memiliki alasan yang cukup kuat mengapa aku tidak suka
menggunakan jas hujan selain Karena dipakai atau tidak dipakai toh akan tetap
basah juga, lagipula aku memang senang menikmati dinginnya hujan. Motorku
melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota Bandung yang terlihat
lenggang sore ini.
Entah
mengapa aku selalu merasa Hujan itu identik dengan kenangan. Semakin banyak air
yang membasahi sekujur tubuhku sore ini, semakin dahsyat pula kenangan itu
menggedor hatiku. Entahlah hujan memang
begitu, hujan selalu punya cara untuk membangkitkan kenangan meskipun aku sudah
memilih untuk tidak berteduh dan focus pada perjalanan.
“Aku sayang kamu Gynta”
“Aku gak tau kenapa sih, tapi aku
sayang kamu”
“Aku tahu kalimat tadi terdengar apa
banget, tapi aku serius Ta.. Kamu mau kan jadi pacarku?”
“Iya” aku hanya menjawab singkat dan
segera menerbitkan senyum sebagai jawaban untuknya.
Tapi
sayangnya itu hanyalah obrolan 4 tahun yang lalu yang kebetulan kembali
teringat. Ketika semua sedang indah-indahnya terlebih untuk ku yang baru
pertama kali jatuh hati.
Lalu
tak lama, ya tidak cukup lama untuk ku. Yang terjadi kemudian adalah :
“Kayaknya kita harus berhenti,aku
udah gak bisa lagi Ta.. kita gak cocok. Sorry banget ya Ta, kita putus aja”
“Kalau kamu sulit lupa, pelan-pelan
aja”
“Aku tau ini salah, tapi Maafin aku”
Kala itu aku hanya bisa diam,
kemudian hanya bisa mengangguk lirih sebagai jawaban untuk nya.
4
tahun memang sudah berlalu, tapi aku tidak pernah bisa melupakan sebentuk wajah
itu ketika terakhir kali aku melihatnya. Dan bahkan hingga detik ini aku belum
paham dengan konsep “pelan-pelan saja” yang dia tawarkan. Tapi sudahlah,
setidaknya aku masih beruntung Karena sebagian orang bahkan tidak mendapatkan
ucapan selamat tinggal.
Rumah
sudah dekat tinggal satu belokan lagi. Dan hujan semakin deras baju dan
celanaku sudah basah kuyup. Badanku menggigil, aku pasti akan dimarahi Bunda
Karena hujan-hujanan. Aku mulai menyesali keputusanku tidak memakai jas hujan.
Sama seperti aku menyesali ketidakmampuanku memahami konsep melupakan seseorang
itu. Aku seharusnya bisa melakukan banyak cara untuk melupakannya, tapi
sayangnya aku hanya belum mau.
Aku
terlalu angkuh mengatakan bahwa badanku kuat terkena hujan sederas apapun itu,
tapi buktinya aku sudah merasa lemas dan tidak enak badan sekarang. Sama kayak
aku yang terlalu angkuh mengatakan bahwa hatiku kuat mengenang semanis apapun
kenangan itu, tapi nyatanya aku tetap merasa sakit setelahnya. Ternyaya Aku
tersadar sekuat-kuatnya aku, aku tetap butuh pelindung. Aku butuh seseorang
yang bersedia mengingatkanku bahwa tidak apa-apa kalau aku tidak baik-baik
saja, tidak apa jika aku sedih, dan aku tidak perlu sok kuat di hadapannya.
Aku
mengaku kalah. Di bawah jok motor, jas hujan itu pasti sedang diam-diam menertawakanku.
***
“Gynta pulang…” Ucapku pilu sesampainya dirumah
dengan sekujur tubuh basah kuyup, Bunda yang baru beres membereskan dapur kaget
melihat aku yang seberantakan itu.
“Masih males buat neduh dulu ? masih males buat
sebentar aja neduh dan pake jas hujan?” Sindir Bunda dengan muka kecut.
“Gynta males Bunda, pengen cepet nyampe rumah”
“Ta, Kamu tuh bukan anak SD lagi kan? Yang masih
senang main basah-basahan? Kapan sih kamu dewasanya?”
“Bun, Gynta capek.. jangan sekarang ya ceramahnya”
Ucapku sambil menaiki anak tangga menuju kekamarku yang terletak di lantai dua.
“Tadi Renata telephone Bunda katanya nelephone kamu
gak diangkat-angkat saja, coba telephone balik sepertinya penting” Teriak Bunda
nyaring.
Aku melemparkan tas ku kesembarang arah, masih
dengan tubuh yang basah kurebahkan diri di atas karpet lembut dikamarku yang
bernuansa serba putih. Ku raih handphone ku tertera lima belas panggilan tak
terjawab dari Renata Ulani, Ya Renat sahabat terdekatku. Kami sudah bersahabat
sejak di taman kanak-kanak rumahnya tak jauh dari sini. Sejak Tk hingga Sma
kami selalu duduk sebangku, dimana ada Renat disitu ada aku, tapi Karena
cita-cita kami berbeda kami akhirnya memilih universitas berbeda, Aku mengambil
Manajemen Bisnis sedangkan Renat mengambil Sastra Indonesia Karena Renat memang
menyukai sekali segala jenis bentuk sastra. Meskipun kita berbeda dalam segala
macam-nya dari mulai karakter dan cita-cita tak disangka persahabatan kami bisa
seawet ini. Aku tak menggubris telephone Renat, aku sedang ingin sendiri.
“Audry, sekarang bagaimana kabar mu? Masih ingatkah
dengan ku? Aku Gynta mu, Gynta mu 4 tahun yang lalu..” bisiku dalam hati.
Sayup-sayup terdengar Adzan magrib berkumandang di
luar sana, aku tertidur cukup pulas namun sial kepalaku begitu berat, nampaknya
efek dari kehujanan tadi sore ditambah aku belum sama sekali berganti pakaian.
Tiba-tiba handphone ku berdering melantunkan lagu Let me love you tertera
disana “Divandra Alhannan” .
“Hallo” sapaku lemas.
“Ta, dimana lo?” Sapa Divan tanpa basa-basi.
“Dirumah kenapa Van”
“Gue didepan rumah lo, bawa martabak green tea
kesukaan lo, kayanya suasana hati lo lagi ga bagus malem ini jadi gue bawain
sesuatu sekalian lewat”
“Masuk aja Van, gue ganti baju dulu. Dibawah ada
Bunda entar langsung keatas aja ya Vin” Ucapku sambil mematikan telephone
selular itu.
Tak lama setelah aku beres membersihkan diri, Divan
memasuki kamarku terduduk diatas karpet sambil membuka martabak green tea yang
dia bawakan untuk ku.
“Jadi kenapa lo bisa tau suasana hati gue lagi gak
bagus ?” tanya ku heran sambil mengerinyitkan dahi.
“Lo kan pernah cerita, setiap kali hujan turun
perasaan lo masih belum bisa berdamai sama masa lalu, terus tadi balik dari
kosan Dino, Hujan turun deras banget terus keingetan sama lo, makanya langsung
kesini bawa ini kesukaan lo, gue kan sahabat yang baik lo wajib berterimakasih
sama gue” Ucapnya sambil tersenyum ala-ala tampang playboy gitu. Aku tertawa
seolah lupa dengan sakit kepala dan ingatan tadi sore.
“Btw thanks ya Van, Hahahaha iya gue tadi sore
mendadak inget Audry sumpah ngerasa nyesek lagi lah pas keingetan”
“Move on makanya Ta” ledek Divan.
“Udah, Cuma masih berproses aja”
“berprosesnya sampe empat taun hahahahhaa”
“Lo mau ngebully gue? Sialan emang!” ucapku sambil
melemparkan boneka berbentuk babi kearah muka Divan yang sedang asik membalas
chat dari ribuan fansnya itu pasti.
“Lo sama Clara putus Van?” Tanyaku agak serius.
“Kemana aja lo? Baru nyampe ketelinga lo berita
itu?”
“Hahahahaha iya tadi pas lagi nyari bahan di perpus
pada ngomongin elo gitu, tapi tapi seriusan putus ?”
“Iye, Putus. Udah ada kali dua mingguan”
“Kenapa? Siapa yang mutusin?”
“Clara lah, gue gak sejahat itu kali mutusin cewek
kaya mantan lo Hahaha”
“Sial, Hahaha. Lah kenapa dia mutusin lo?”
“Dia cemburu sama lo”
“Hah? Gue?” ucapku kaget
“Iya, emang kedekatan kita gak wajar ya Ta?”
“gak wajarnya sebelah mana sih Van? Lagian Clara
kan kenal gue. Dia juga tau gue sama lo deketnya kaya apa, kok bisa sih Van?
Heran deh gue, perlu gue tanya sama Clara?”
“Ngapain? Gak usah, lagian males gue sama cewek
ribet model Clara, terlalu posesive dan pencemburu. Gue sih kalo disuruh milih
cinta apa sahabat, gue pasti lebih milih sahabat”
“lah tapi lo putus gara-gara gue, ya mana iya gue
bisa tenang tenang aja kalo ketemu Clara, gue sama Clara satu kelas loh Van”
“Udah biasa aja, pura-pura gak tau aja”
“Renat gak kesini Ta?”
“Gak tau chatnya belum gue bales, tadi sih gue baca
dia lagi di Pvj nyari kado buat Pdktannya. Ngapain lo nanya-nanyain Renat?
Jangan harap ya gue restuin lo deketin Renat! Big No, ga sudi sahabat gue jadi
santapan Playboy model Lo hahaha” tawa
ku pecah.
Divandra Alhannan, cowok berketurunan Arab ini
sudah Klik menjadi sahabatku sejak masa ospek dimulai, Tingkahnya yang kocak
dan selalu membuat tertawa setidak baik apapun perasaan ku. Cowok berdarah Arab
itu memiliki tubuh yang tegap dan wajah yang tampan pantas saja seantero kampus
mengidolakan ketampanannya itu, kecuali aku. Dimata ku Divan hanya sahabat
baik, sahabat yang bisa memberiku solusi dan bersedia memberikan kuping serta
bahunya ketika dunia tidak sedang berpihak kepadaku.
Setelah obrolan dan curhatan-curhatan gak jelas
waktu pun tak terasa kian larut, Divan berpamitan pulang dan tidak lupa
mengingatkan ku untuk meminum obat masuk angin, aku mengangguk dan melambaikan
tangan saat mobilnya melaju pergi dari halaman rumahku.
***
Hembusan angin siang ini perlahan mulai
menghempaskan detik detik uap yang keluar dari secangkir teh hangat yang sejak
tadi duduk manis di meja kantin kampus. Tanpa ku sadari, sudah lebih dari 30
menit terduduk disini, termenung sendirian padahal niat awalnya adalah menyelesaikan
tugas Bu ningsih yang harus dikumpulkan lusa.
Fikiran ku tiba-tiba saja dipenuhi oleh Audry. Ya
Audry. Apa kalian pernah merasakan, ketika hati sudah terlanjur sayang? Lalu
kemudian tanpa sadar kalian mulai membandingkannya kepada setiap orang yang mencoba mengetuk dan datang? Sungguh
sangat menjengkelkan bukan? Aku pernah mencoba memejamkan mata, mencoba menutup
dan menghapus setiap tawa yang Audry torehkan didalam relung ingatan. Tapi apa
daya, semakin aku mencoba, bayangnya semakin terasa nyata. Bukan tak pernah aku
mencoba mencari sosok lain, tapi selalu berujung dengan penolakan ku, dan
selalu dengan alasan “aku belum siap untuk terjatuh lagi” dan itu sudah 4 tahun
lamanya.
“Ta, boleh gue bicara sebentar?” Sapa Clara
tiba-tiba entah dari mana arah datangnya sambil terduduk manis tepat
dihadapanku.
“Eh, iya kenapa-kenapa?” Ucapku heran
“Lo sebenernya ada hubungan apa sih sama Divan?”
“Divan? Clara lo tau kan gue sama Divan temen
deket, Divan itu sahabat baik gue dari mulai ospek karna dulu kita sekelompok
pas ospek dan engga lebih. Lo mau curiga sama gue ? kayanya engga fair gitu
kalo lo curiga sama gue.. lo sama Divan juga sering main bareng sama gue sama
Renat kan? Kok lo bisa sih nanya gue sama Divan ada hubungan apa? Aneh gak sih
menurut lo?”
“Menurut lo, kalo dia lebih memprioritaskan lo dibanding
gue pacarnya apa itu wajar juga?”
“Hmm.. Oke, Gini yah Clara gue bener-bener gak tau
lo sama Divan putus karna apa, gue baru tau lo putus sama Divan kemaren dan itu
pun dari gossip yang tersebar disana-sini, Gue gak mau tau alasan lo sama Divan
putus karna apa, gue bukan tipikal orang yang seneng ribetin masalah orang
lain, tapi please jangan bawa-bawa gue kedalam masalah kalian, karna gue
bener-bener gak tau dan gak paham kenapa bisa gue dibawa-bawa kedalam
permasalahan kalian”
“Belagak polos lo! Gue gak nyangka ya lo gini”
Clara mulai meninggi, dan aku semakin bingung.
“Clara, what wrong with you? Oke, aku minta maaf
kalo semisalnya gue ada salah, tapi beneran gue gak ngerti kenapa dan ada apa”
“Lo gak cape apa?” Bentak Divan kasar dengan wajah
yang merah seperti menahan amarah.
“Lo harus jelasin sama gue ada hubungan apa lo sama
dia!!!” Clara semakin emosi, tangannya menujuk-nunjuk wajahku yang tampak
linglung siang ini.
“Sini lo!” Divan menarik tangan Clara dengan kasar,
baru kali itu aku melihat Divan semarah itu.
“Van, Stop!!!” aku berteriak panik.
“Lo duduk!! Lo Juga” ucapku tegas sambil menunjuk
wajah mereka yang sama-sama dipenuhi amarah.
“So, gue harus mulai dari mana dulu?” ucapku
belagak so menengahi.
“Kalo lo minta gue jelasin seperti apa hubungan gue
sama Divan, Kayaknya lo udah tau deh Clara. Dan gue udah jelasin berkali-kali
dari tadi. So whats your problem? Perlu gue sumpah al-quran buat menjelaskan
kalo gue sama Divan gak lebih dari seorang sahabat deket? Dan lo Van, gue gak
tau ada masalah apa lo sama Clara, please selesaikan tapi gak usah bawa-bawa
gue. Oke, Clear?”
“Gue….” Tangis Clara pecah,aku terhenyak. Aku
merasa air mata seorang perempuan itu begitu jujur.
“Divan mutusin gue tiba-tiba gitu aja tanpa
penjelasan apapun Ta, lo bisa bayangin gak sih perasaan gue yang lagi
sayang-sayangnya terus diputusin gitu aja. Dia selalu ga ada waktu buat gue,
gue ajakin kesana kesini selalu ada aja alesannya sedangkan buat lo, mau
sesibuk apapun dia pasti dateng, dia pasti ada. Boleh kan gue ngerasa Iri sama
lo? Gue nangis tiap malem, gue galau, sedangkan dia? Hampir tiap malem ada
dirumah lo kan? Bisa lo bayangin ga sih ada di posisi gue”
“Tunggu..tunggu, Van lo boong sama gue!!!” Ucapku
dengan wajah yang ketus.
“Lo bilang Clara yang mutusin lo kan semalem? Ini
mana yang bener sih” tanyaku bingung.
“Divan mutusin gue gitu aja Ta! Tanpa penjelasan
Cuma bilang kita udah ga cocok dan lagi pengen sendiri dulu, ini tuh
bener-bener gak adil, setelah apa yang udah gue lakuin buat Divan!” Clara
berbicara dengan tersedu, tangisnya pecah. Divan hanya terdiam matanya tepat
mentap kedalam mataku, dan baru kali itu aku melihat mata Divan sehangat itu
menatap ku.
“Van, Jelasin ini maksudnya apa? Kenapa lo mutusin
Clara tanpa penjelasan kaya gitu? Dan kenapa lo bohong sama gue? Lo tau kan?
Gue pernah diputusin gitu aja, tanpa penjelasan saat lagi sayang-sayangnya dan
itu seribu kaliiiiiiiii lebih sakit daripada diselingkuhin sumpah! Gue pernah
ada di posisi Clara, dan udah 4 taun gue berjuang buat lupa. Kenapa lo sejahat
itu sih Van?”
“mau lo apa Clara?” Tanya Divan ketus tapi matanya
masih menatap mata ku, entah mengapa itu membuat ku salah tingkah.
“Gue pengen semuanya jelas Van, gue bakalan mundur
kalo alasan lo ninggalin gue bisa gue terima. Gue bakalan mundur kalo jelas ada
orang lain di hati lo! Gue Cuma pengen tau kenapa, apa alasannya. Gue ngerasa
ini ga adil kalo lo mutusin gue tanpa alasan yang jelas” Ucap Clara
“Iya, Gue jatuh cinta sama wanita lain. Dan itu
alasan gue ninggalin lo. Puas???” Divan menjawab ketus dan pergi meninggalkan
Clara yang tidak diberi kesempatan apapun untuk bertanya dan berbicara lagi.
Clara menangis tepat dihadapanku, tangisnya
tangisan pilu yang pernah aku alami beberapa tahun lalu. Aku memeluk tubuh
mungil Clara yang masih tersedu, aku tidak bisa menyembuhkan lukanya, aku bukan
siapa-siapa tapi setidaknya itu bisa membuat perasaanya membaik saat ini. Setelah aku menyarankannya untuk pulang,
Clara menuruti saranku dan bergegas pulang dengan menggunakan taxi. Sedangkan
aku, aku masih terduduk dikantin tadi. Setidaknya Clara berjuang meskipun
perjuangannya tidak di gubris, setidaknya dia tidak menyerah begitu saja dan
pasrah dengan keadaan ketika dibuang begitu saja. Setidaknya dia berjuang
sekali lagi untuk hubungannya, setidaknya dia tidak menjadi pecundang.
Setidaknya dia sempat bertanya untuk menjawab setiap tanya dalam hatinya, tidak
seperti ku yang terlalu pengecut untuk meminta kejelasan, yang terlalu pengecut
untuk berjuang sekali lagi, yang terlalu pengecut dan pasrah dengan segalanya.
***
“Taaaa….” Suara nyaring Renat membuyarkan
konsentrasiku yang sedang focus dengan tugas makalah yang harus dikumpulkan
lusa.
“Apaaan sih?” Ucapku kecut
“HAHAHA” Renat tertawa, di ikuti dengan gelak
tawaku juga
“Ta, lo sabtu ini ikut kan?”
“Ikut? Ikut apaan?”
“Reuni, lo gak baca di grup emangnya?”
“Oh… iya iya gue baca, tapi gak tau deh gue dateng
apa engga”
“Kenapa? Lo masih takut buat ketemu Audry?” Ucap
Renat polos sambil menikmati Ice creamnya.
“Takut? Lah ngapain gue takut ketemu dia?”
“Lo takut, kalo dia tau udah selama ini dan lo
masih belum bisa move on”
“Gue udah move on”
“Bohong”
“Kok lo rese sih?”
“Lo ajak Divan aja, buat persiapan kali aja dia
bawa calon istrinya”
“What do you mean?”
“Iya Divan kan ganteng, lo pura-pura jadiin dia
pacar lo aja, pacar semalem buat reuni biar lo ga tengsin banget kalo dateng
tanpa pasangan di depan si Audry”
“Dasar tukang nonton sinetron, ogah ah”
“jadi lo lebih milih jadi pecundang seumur hidup lo?”
Jleb. Kata-kata Renat barusan begitu menusuk ke ulu
hati, ingin rasanya marah dan mengacak-acak rambutnya Renat saat ini juga, tapi
aku hanya terdiam. Dan kata-kata Renat memang ada benarnya juga. Tapi aku dan
Divan sedang musuhan berkat Clara tadi siang, mana mungkin dia mau.
“Hmmm tapi..”
“Udah deh, lo harus dateng wajib banget lo mesti
tunjukin sama mereka semua kalo lo udah move on dan baik-baik aja. Gue
telephone Divan ya”
Brukkk… Sebuah tas ransel berwarna navy dilempar
seseorang dengan semberono kesembarang arah kulihat wajah kusut Divan yang
tiba-tiba saja datang entah dari mana asalnya mengganggu obrolan aku dan Renata
malam ini. Aku dan Renat hanya bisa melongo tak paham melihat wajahnya yang
semraut itu.
“Panjang umur lo Van, baru aja mau di telephone”
Sapa Renat kegirangan sambil melirik ke arah wajah ku yang masih melongo.
“Van, lo mau kan bantuin si Gynta ?” ucap Renat
lagi
“Van….” Ucap Renat dengan suara stereonya lagi
Karena Divan hanya asik dengan telepon selularnya tanpa menggubris Renat sedikitpun.
“Are you okay Van ?” aku mulai buka suara, Divan
melirik kearahku dengan ketus.
“Lo tuh kenapa sih Ta, kesel banget gue sama lo!”
“Ya tapi kan lo juga salah Van..” aku mencoba
menenangkan diri, Renat tampak kebingungan dengan obrolan kami.
“Gue punya alesan kenapa gue ga bisa sama Clara
lagi, gue ga sama ya kaya Audry lo yang ninggalin lo tanpa sebab itu, gue punya
alesan. Kalo gue ga bilang sama Clara alesannya apa ya gue Cuma menjaga
perasaan dia, ga semua pertanyaan itu butuh jawaban Ta, ga selalu yang jadi
tanda tanya itu membutuhkan jawaban. Sekarang yang Clara dapet apa? Nyesek?
Rasa sakitnya jadi double kan?”
“Mungkin Audry juga gitu, dia ninggalin gue dengan
alasan yang tidak bisa dia sampaikan ke gue karna menjaga perasaan gue,
harusnya gue yang ga terlalu berlebihan dan suudon sama dia kaya gini”
“Oke, Stop! Gue ga ngerti dan gak faham apa yang
lagi kalian bahas, but gue fikir itu sama sekali gak penting. Yang penting tuh
sekarang lo Divan harus banget bantuin Gynta” Ucap Renat memotong pembicaraan
kami.
“Jangan gila deh Nat, Gue ogah ah”
“Van lo mau kan bantuin Gynta?” tanya Renat tanpa
menggubris ucapanku.
“hmm”
“Oke gue anggap lo setuju ya Van, jadi sabtu ini
gue sama Gynta bakalan ada acara prom night party sebagai salah satu mediasi
buat reuni sama temen-temen SMA kita, nah kebetulan gue liat di list tamu
kemaren kalo si Audry itu bakalan dateng. Gue udah bujuk Gynta buat hadir tapi
dia nolak terus mungkin masih belum siap buat ketemu Audry atau masih belum
siap di bully kalo ketauan selama ini masih belum bisa move on dari Audry. So…
gue tiba-tiba dapet ide brilian, kalo di hari sabtu nanti Gynta harus dateng
sendirian itu bakalan terlihat menyedihkan kan Vin? Tapi kalo gak sendirian
Gynta harus pergi sama siapa secara temen cowok yang deket aja gak ada kecuali
lo hahaha nah gue kefikiran lo aja yang nemenin Gynta, sehari doang pura-pura
jadi pacarnya Gynta..”
“Udah deh Nat” aku melempar guling berbentuk banana
ke arah Renat yang sedang asik menjelaskan strategi anehnya kepada Davin, dan
Davin dengan mimik serius mendengarkan setiap kata yang diucapkan Renat.
“Oke, jam berapa gue harus jemput Gynta?” Ucap
Davin sambil menoleh kearah ku yang memandang kearah mereka dengan ketus.
“Van, Gue rasa ide nya Renat itu gila deh”
“Engga Ta ini ide paling bagus menurut gue biar si
Audry itu tau lo tuh bukan pecundang dan biar gue bisa liat wajah Audry yang
udah bikin sahabat gue stalk selama 4 taun ini”
“Oke. “ aku hanya mengucapkan kalimat itu tanpa
menggubris strategi gila mereka lebih jauh lagi yang aku yakini mereka dua
sahabat terbaiku itu Davin dan Renat hanya ingin yang terbaik untuk ku, hanya
ingin aku baik-baik saja dan bahagia. “So thankyou Nat, Van.. thankyou sudah
bela-belain buat gue” gumanku dalam hati.
***
Ini kali pertama aku hadir dalam acara reuni kelas
semenjak lulus 3 tahun yang lalu. Bukannya aku sebegitu sibuknya tapi Karena
waktu yang diagendakan mereka selalu tidak pernah bertepatan dengan jadwal ku.
Singkatnya saja, aku yang selalu berusaha membuat waktunya tidak tepat. Tapi
kali ini, entah darimana datangnya niatan itu, aku ingin datang. Rindu
barangkali yang sudah meracuni risau ku, memakan habis gengsiku.
Meski kelihatannya niatku untuk datang sudah
sebesar itu, tapi kacaunya suasana hati rupanya belum bisa aku kalahkan. Belasan
telephone dari Renat tidak aku gubris, jadi hingga detik ini aku masih terduduk
di atas tempat tidur sambil membalas chat Divan yang sibuk menanyakan apa yang
harus dia kenakan agar telihat keren disana.
Teeet… Klakson menggema didepan halaman rumah aku
yakin Divan sudah datang dibawah sana, aku masih berdiri di depan cermin besar
debar jantungku masih belum bisa aku atur, mengapa sebegini menyedihkannya
menjadi aku Dry? Aku menyisir pelan rambutku yang ku biarkan tergerai panjang,
aku hanya mengenakan dress berwarna putih nan sederhana dengan sepatu flat
shoes berwarna senada setelah berpamitan dengan bunda aku bergegas menemui
Divan.
Divan keluar dari mobil honda jazz warna silver
miliknya sambil tersenyum manis, dia tampak tampan hari ini dengan balutan
blazer coklat dan kemeja berwarna senada. Aku memasuki mobilnya dan terperangah
kaget menemukan handbouket bunga mawar berwarna pink dan putih di jok depan
mobil Divan.
“Bunga siapa ini? Cute banget, lo pasti lagi
modusin cewek ya” sindirku sambil tersenyum geli.
“Buat lo” ucapnya cuek sambil memasangkan seat belt-nya.
“buat
gue? Dalam rangka?” aku terheran-heran.
“Lo
pasti tegang banget mau ketemu mantan terindah, biar rilexs haha”
“Sial,
gue selow banget kali ini. Inget ya Van lo Cuma pacar boongan gue jangan so
bertingkah kaya pacar beneran deh hahahaha”
“Kalo
gue pengennya jadi pacar beneran gimana?”
“HAHAHA
sama lo?”
“HAHAHA”
Tawa kami pecah bersama-sama.
Aku
memasuki hotel flowers in dengan jantung yang masih berdebar, Divan memegang
tanganku erat entah mengapa terasa hangat dan sedikit menenangkan, aku belum
sesiap itu untuk bertemu kembali dengan Audry tapi baiklah sudah waktunya aku
menunjukan kepada dunia bahwa aku baik-baik saja tanpanya.
Aku
sampai disana ketika mereka sudah melahap habis makanan-makanan itu. Aku
mendadak kenyang, tak ingin makan. Aku segera bergabung dengan beberapa teman
baik ku di SMA, Renat sudah menunggu dengan Pdkt-an barunya dengan wajah
berseri-seri melihatku. Beberapa teman menatapku kagum dengan bangga-nya Divan
memperkenalkan diri sebagai “calon-ku” hatiku ingin tertawa terbahak-bahak
sebenarnya melihat acting Divan yang nyaris sempurna. Mata ku menyusuri setiap
sudut ruangan, aku mencarinya, dimana dia? Apa dia tidak jadi datang? Gumanku
dalam hati.
Seseorang
menepuk pundak ku dari belakang. Raya ia tersenyum kemudian kami berpelukan.
Rasanya lama sekali aku tak melihatnya. Banyak yang berubah. Anaknya sudah dua
tapi tetap cantik.
“Siapa
nih” sindir Raya sambil tersenyum menggoda
“Eh..
Ini..” Aku kikuk sendiri.
“Divan,
Calonnya Gynta” Ucap Divan percaya diri sambil tersenyum.
“Ciee
Gynta udah move on hehehe, cocok Ta jangan dilama-lama lagi. Gak ngiri sama gue
yang udah beranak dua kali? Hahahahaha” sindir Raya sambil tertawa lepas.
“Gynta?”
sapa seseorang dari arah belakang badanku, suaranya aku kenal dengan baik.
Aliran darahku rasanya berhenti saat ini. Aku membalikan tubuhku perlahan.
“Audry
Hy” sapaku kaku, kulihat dia memang tetap menawan, dan aku tetap terpesona
olehnya. Senyumnya ya senyumnya yang sudah lama sekali tidak kulihat.
Disampingnya berdiri seorang wanita yang sepertinya wajahnya kukenal bernama
Fradella utami setahuku dia dulu murid SMA Pelita bangsa juga.
“Apa
kabar?” sapanya hangat sambil menjulurkan tangan mengajak berjabat tangan, aku
menyambut tangannya dengan dada yang masih terasa sesak.
“Baik,
Eh Btw ini kenalin calon Gue” Ucapku, aku terhenyak tanpa sadar aku benar-benar
mengatakan itu didepannya. Divan menatapku sambil tersenyum dan menjulurkan
tangan kearah Audry yang sepertinya dia kaget malam ini.
“Divandra”
Ucap Divan tersenyum puas.
“Audry,
dan ini Della Ta, lo kenal kan? Anak Ipa 2 dulu.. hehe btw dia calon gue”
“Hay
Del..” sapaku dengan wajah so berseri-seri, dan Della hanya tersenyum kecut
entah maksudnya apa.
“Rumah
lo masih disitu Ta?” Tanya Audry
“Masih
hehe main-main lah kerumah sama Della sekalian”
“Iya
ntar kalo ada waktu ya, eh Ta kita keliling dulu ya, seneng bisa ketemu lo
lagi” sapanya sambil berlalu, tapi kulihat tatapan mata Della tidak begitu
bersahabat, apa yang salah dengannya?
Tak
terasa malam semakin larut satu persatu pun sudah berpamitan pulang dengan
pasanganya masing-masing, entahlah hatiku rasanya begitu tak menentu aku
mengajak pulang Davin dengan wajah tampak lesu, setelah berpamitan dengan semua
yang masih ada disana aku bergegas pulang. Aku terduduk di bangku mobil milik
Divan dengan wajah murung, petir menyalak diluar sana tak lama hujan gemericik
turun dengan manisnya seperti mewakili perasaanku saat ini ditambah dengan lagu
ten2five love is you yang mengalun lembut di tape radio milik Divan.
Pandangan
mataku seketika seperti kabur. Bukan Karena tetesan air hujan yang membasahi
sudut kaca jendela mobil Divan yang menyisakan embun menyeluruh, tapi Karena
lelehan kristal es yang tidak butuh waktu lama untuk membanjiri kedua pipiku.
Hati ku terasa sakit kembali, nyatanya hatiku masih ku taruh dalam didalam
sana.. Audry.
“Jadi
sekarang ini lo kenapa lagi?” tanya Divan memecah keheningan.
“Idih
asli ya nggak ada basa-basinya sama gue, nanya apa dulu kek!” gerutuku sambil
menghapus sedikit air mata.
“Lah
gue harus basa-basi kaya gimana coba wong lo masuk mobil langsung mewek. Lagian
kurang perduli apa sih gue sama lo? Beruntung lo punya temen deket kaya gue
nih, Haha” jawab Divan sekenanya.
“Van..
gue kayanya paham kenapa dulu Audry mutusin gue tiba-tiba” ucapku
“Kenapa
emang?”
“Iya
jadi ternyata selentingan itu bener, gossip di sekolah saat itu bener. Cuma gue
yang terlalu percaya diri kalo Audry mutusin gue Karna emang mau focus belajar,
gue di boongin dia Van. Dia mutusin gue
Karna Della, iya cewek yang dia bawa barusan. Dan bahkan sekarang mereka mau
menikah”
“Terus
salahnya dimana? Ya oke gue tau Audry salah mungkin dia pada saat itu hanya
seorang pria SMA yang pemikirannya masih sependek itu buat selingkuh dan memutuskan
memilih cewek lain. Tapi ya udah karna semuanya pun udah terjadi 4 tahun yang
lalu. Yang salah itu tinggal dari elo-nya kenapa elo harus begitu menyedihkan
dengan tidak bisa melupakan seseorang yang udah jelas-jelas lupain lo. Salahnya
ada di elo Ta”
“Audry
my first love, my first kiss Van.. rasanya susah ilang, susah buat dilupain”
“Bukan
gak bisa dan susah, elo nya aja yang belum mau” Divan terdiam wajahnya tampak
kecut dan kesal denganku, aku tak perduli aku tak menggubris lagi perkatan
Divan dan sibuk memandang ke arah jalanan yang sepi malam ini.
“Ta,
sorry ya . tapi sumpah gue Cuma pengen liat lo bahagia. Jangan sedih-sedih lagi
ya” Ucap Divan sebelum aku memasuki rumah. Aku tersenyum dan mengangguk sambil
berlalu.
***
Hal
yang membuatku begitu sedih saat ini adalah kenyataanya bahwa aku bukan lagi
orang yang membuatmu bahagia. Aku bukan lagi penyebab dari tawamu . apakah iya,
kamu dipertemukan denganku hanya untuk menyakiti?
Entahlah
sudah tidak terhitung waktu yang kusisihkan untuk mengenangmu. Kamu ada
dimana-mana, menjelma udara, angin, awan dan hujan. Etah berapa banyak rindu
yang singgah setiap malam, itu semua diluar dayaku aku tak mampu
menghentikannya. Tapi sepertinya aku tiba di pengakhiran luka, beberapa
kata-kata Divan terngiang ditelingaku hingga aku sadar aku tak bisa selamanya
berharap.
Pukul
nol nol lewat dua belas dan aku masih enggan tertidur, aku mencoba menyibukan
diri dengan beberapa tugas yang deadline tapi fikiranku tidak menuju kesana,
fikiranku masih saja ada di waktu kita bersama 4 tahun lalu. Aku berjalan
perlahan mengambil sekotak sepatu dibungkus dengan bungkus kado warna pink yang
sengaja aku simpan rapi di atas lemari. Aku membuka tutupnya perlahan disana
tersimpan puluhan foto aku dan Audry yang masih enggan rasanya untuk ku buang,
ada liontin berbentuk hati hadiah ulang tahunku dulu darinya. Aku tersenyum
tapi juga menangis, aku mencintaimu, masih juga merindukanmu, dan pertemuan
kita tadi seolah memberi ruang pada kenangan untuk tetap tinggal.
“Taaaa…bangunnn..”
ucap mama sambil menepuk-nepuk punggungku, aku terperanjat kaget sepertinya
semalam aku ketiduran di meja belajar.
“Iya
Bun iyaaa Tata bangun” ucapku sambil mengucek-ngucek mata, rasa kantuk masih
bergelayut manja.
“Ta,
ada yang nyari kamu tuh dibawah”
“Hah?
Siapa? Divan? Suruh keatas aja Bun, biasanya juga langsung ke atas” ucapku
sambil membawa anduk warna merah jambu.
“Bukan..”
“Siapa?”
aku bertanya heran.
“Audry”
Ucap Bunda setengah berbisik.
“APA?”
Aku kaget setengah berteriak.
“Iya
Audry ada dibawah sana, Kok dia kesini lagi Ta? Kalian balikan” tanya Bunda
mulai kepo
“Lah
Tata aja gak tau Bun.. yaudah Tata samperin dulu deh” Ucapku sambil bergegas
menuruni anak tangga.
“Audry?”
tanyaku heran saat melihat wajahnya yang berseri terduduk riang di ruang tamu
rumahku sepagi ini, rasanya like a dream. Beberapa kali aku mencubit tanganku
dan terasa sakit, ini bukan mimpi!
“Hay
Ta.. kekampus jam berapa? Ada kuliah?” tanyanya hangat seolah kita memang
sering bertemu dan akrab sebelumnya
“Hmmm..
ada kuliah jam setengah sepuluh sih, Btw ada angin apa nih?”
“Gue
anter ya? Boleh? Lagi kangen aja”
“Oh
gitu, tapi gue gak ngerepotin nih? Soalnya kaya tiba-tiba gitu gue jadi kaya
heran haha”
“Iya
soalnya semaleman gak bisa tidur gue kebayang lo terus Ta” Audry menatap tepat
kedalam mataku, aku dibuat salting oleh tatapan matanya.
“Eh
gue mandi dulu kali ya!” Aku mengalihakan pandangan dan pembicaraan agar Audry
tidak merasakan gemuruhnya hati ku saat ini.
“Ta lo
mau bareng gak….” Sapa Divan tiba-tiba dari balik pintu dan ternganga kaget
karna melihat Audry di ruang tamu rumah ku pagi ini.
“Gynta
mau berangkat bareng gue” Ucap Audry tegas dengan muka kecut mengarah ke Divan.
“Van..
Kita ngobrol didalem yah” Ucapku sambil mengajaknya ke ruang televisi yang
jaraknya lumayan jauh dari ruang tamu.
“Kok???”
Ucap Divan heran
“Gue
juga gak tau.. beneran tadi pagi bunda bangunin gue dan dia udah duduk
disitu..”
“Yaudah
pura-pura gak mau aja, lo pergi bareng gue aja”
“Hm..
kayanya ini kesempatan gue deh Van..”
“Buat?”
“Buat
semua pertanyaan gue”
“Udah
lewat 4 taun udah basi kali Ta”
“Buat
lo mungkin iya, tapi buat gue engga.. gue nunggu momen ini lama banget dan
sekarang dia ada disini tanpa gue minta, jadi boleh yah”
“Terserah
lo deh Ta, tapi kalo dia bikin lo dikit aja ngeluarin air mata.. gue bakalan
turun tangan” ucap Divan sambil berlalu dengan mukanya yang ketus. Aku terdiam
memperhatikan punggung Divan yang menjauh dan bergegas untuk segera
bersiap-siap.
Tak
sampai tiga puluh menit aku sudah siap dengan kaos polos berwarna putih lengkap
dengan celana jeans casual dan tas selempang berwarna hitam dengan beberapa map
yang berada ditanganku . aku terduduk manis di mobil Audry dengan banyak
pertanyaan yang rasanya ingin meluncur dari mulutku namun ku tahan bulat-bulat.
Aku melirik sekilas ke arah Audry dia tampak tenang namun sorot matanya
menyipan seribu tanda tanya.
“Cowok
tadi itu calon lo Ta? Kapan rencana merit?” tanyanya memecah keheningan.
“Hm..
Sebenernya sih gue sama dia Cuma temen deket, kita gak bener-bener pacaran”
ucapku pelan, pelan sekali nyaris samar. Aku memang tidak pandai berbohong aku
tidak pandai berakting seperti Renata atau mungkin Divan.
“Maksudnya?”
“Iya,
kemaren Renat nyuruh Divan buat nemenin gue ke acara reuni karna takut gue
sedih kalo harus pergi sendirian.. yaaa you know lah hehe”
“Jadi
dia Cuma temen deket?”
“Iyasih,
haha menyedihkan nya hidup gue”
“Seriusan?”
“iya
serius”
“Gue
sama Della semalem putus..” ucap Audry pelan
“Putus?
Kenapa? Sayang banget..” Ucapku so soan merasa berempati.
“Gara-gara
lo”
“Gue???”
aku terheran kembali, sebulan ini sudah ada dua pasangan yang putus gara-gara
aku.
“Iya”
“Kok
Gue?? Haha”
“Della
cemburu banget sama lo Ta.. kemaren kita berantem hebat karna gue nyapa lo, dan
gue males banget sumpah sama cewek terlalu drama kaya Della.. jadi yaudah gue
mutusin dia”
“Oh
gituu.. sorry deh kalo gara-gara gue” ucapku lemas. Antara bingung harus senang
atau sedih
“ya
gak apa-apa juga sih, malah bagus. Jadi gue ada alesan buat mutusin dia.. Della
terlalu posesive Ta. Gue capek”
“Lah
tapi kan itu pilihan lo”
“Gue
masih sayang lo Ta” ucapnya samar nyarisss tak terdengar aku melirik kearahnya
merasa bingung harus berkata apa aku terdiam, tidak aku tidak boleh terbawa
perasaan mungkin Audry hanya sedang gamang karna baru saja putus hubungan dengan
Della. Perjalanan menuju kampus ku kali ini terasa sangat lama, entahlah aku
merasa perasaanku tidak karu-karuan.
“entar
kelar kampus jam berapa?” tanyanya tanpa menatap wajahku.
“kayanya
sih kelar jam dua-an”
“Gue
jemput lagi yah, boleh?”
“Serius?”
“serius”
“Oke,kontak
gue aja ya, nomor gue masih yang dulu kok” ucapku sambil tersenyum dan menuruni
mobil honda city berwana hitam milik Audry.
Aku
melangkah perlahan sambil menundukan pandanganku ke bawah, beribu pertanyaan
mencuat sekeras hati aku mencoba untuk tidak membawa perasaanku terlibat lagi,
tetep saja rasanya tidak mungkin tidak melibatkan perasaanku lagi.
Mata
kuliah pengantar bisnis berdurasi dua jam setengah itu aku habiskan dengan
melamun, sedang tidak focus dengan sekitar sedang begitu ingin memeluk tubuh
Audry dan berkata “aku juga masih sayang kamu”.
Tak
terasa mata kuliah pengantar bisnis selesai, aku mengecek handphone ku beberapa
kali namun nihil tidak ada sms atau telephone masuk dari Audry untuk ku.
Mungkin dia lupa kalau dia sudah berjanji untuk menjemputku. Aku berjalan lemas
kearah kantin dan memesan ice capucino sambil membuka laptop kesayanganku.
“DAAARRRR”
Sapa Divan tiba-tiba menganggetkan lamunanku.
“IHHH
LO TUH YAH” Ucapku sewot
“sewot
amat, lagi Pms?”
“berisik
deh lo”
“kenapa
?” tanyanya sambil menatap tajam kearah mataku, sepertinya Divan memang tau aku
sedang tidak baik-baik saja.
“Gak
kenapa-kenapa”
“Boong,
kenapa? Udah cepet cerita sini”
“engga,
gue baik-baik aja”
“Boong,
Gynta gak pernah pinter boong”
“Audry…”
“kenapa
lagi?”
“dia
janji mau jemput gue lagi, tapi sampe sekarang udah lewat sejam lebih masih gak
ada kabar”
“orang
kaya gitu lo pegang omongannya?HAHA”
“gue
berekpektasi terlalu tinggi kayanya Van”
“Udah
deh, ngadem di café green yuk sambil makan ice cream gue yang tlaktir deh”
“maaf
gue ngerepotin lo mulu ya Van”
“Apaan
sih lo, yuk”
“Iya
tunggu gue beresin laptop gue dulu”
Aku
berjalan menuju lapangan parkir sambil tertawa melihat kekonyolan Divan yang
sedang mencoba menghiburku.
“Ta!”
Sapa seseorang tiba-tiba tak jauh dari tempat aku berdiri, aku membalikan
badanku dan kulihat tubuh tegap Audry ada disana.
“Eh
elo, gue fikir gak bakalan jadi jemput gue” Ucapku kikuk
“Tadi
ada sedikit trouble di cafe maaf lupa ngabarin dan ngaret, yuk” ajaknya sambil
menggenggam tanganku dan membuat ku salah tingkah, Divan menatap kearah mataku
tajam entah apa yang ada difikirannya saat ini, aku berlalu meninggalkannya dan
mengikuti langkah Audry .
Aku
memasuki mobil milik Audry dengan wajah melongo, Audry tersenyum kecil memandang
wajahku dan memasangankan sabuk pengaman mobil dengan wajah yang sumringah.
“Sorry
telat” Ucapnya memecah keheningan
“Hmm
iya gak apa-apa”
“Kamu
beneran gak ada hubungan apa-apa kan sama cowok yang tadi?”
“iya
gak ada apa-apa sih Cuma temen deket doang. Kenapa?”
“Boleh
kalo aku minta kamu jaga jarak sama dia? Kok aku gak suka ya sama dia,
maksudnya gak suka ngeliat kamu deket-deket sama dia”
“Loh?
Emang kenapa?”
“Ya
gak suka aja..”
“Gak
ada alesan yang lebih kuat gitu selain “ya gak suka aja” ? “ tanyaku heran
“Kita
pacarana lagi yuk Ta”
“Hah?”
“Iya,
aku pengen nebus kesalahan 4 taun yang lalu. Gak ada yang terbaik selalain
kamu”
“Della?
Are you okay Dry? Belum sampe seminggu loh putus sama Della. Terlalu cepet”
“Sorry
karna telat menyadarinya”
“Sorry
karna telat sadar kalo kamu yang terbaik”
“Kasih
aku waktu ya Dry..”
“Its
Okay, No problem” Ucapnya sambil tersenyum manis sekali seakan membuatku
terlihat sangat jahat Karena sudah menolak ajakannya untuk kembali bersama
lagi.
“Aku
sayang kamu Gynta” Ucapnya lagi sambil tersenyum dengan mata yang masih focus
kearah jalan membuatku merasa salah tingkah.
“kenapa
baru sadar sekarang? selama ini kemana aja?” aku mulai buka suara.
“kamu
fikir selama ini aku baik-baik aja?”
“Ditinggal
gitu aja kayak dibuang! Tanpa alasan yang jelas!”
“Kamu
lupa?”
“Kamu
mikirin perasaan aku engga saat itu?”
“Kamu
yang bilangnya mau focus belajar dan ternyata malah pacaran sama Della
dibelakang aku!”
“Kenapa
baru sekarang kamu menyadarinya Dry?”
“Bahkan
empat tahun semenjak kejadian itu aku belum bisa membuka hati untuk siapapun
kamu fikir aku baik-baik aja?”
“And
now you just say sorry?”
“And
everything will be back ?”
“Semudah
itu aku buat kamu ?” aku memuncak rasanya tak kuat lagi untuk dipendam cukup
lama, Aku tak menyangka aku bisa berbicara selancar itu .
“Aku
mohon jangan kacaukan lagi perasaanku yang sudah membaik saat ini” Aku menatap
kearahnya tajam, tak lama petir menyalak diluar sana hujan turun dengan deras
membuat suasana semakin sendu.
“Karena
saat ini aku hanya ingin menjadi perempuan yang tidak mau dimiliki begitu saja.
Aku akan terus menjadi rumit, menjadi sulit untuk dipahami dan dipecahkan. Jadi
jangan bercanda lagi”
“Aku
akan berusaha keras untuk memperbaiki segalanya Ta” Ucapnya lembut namun pasti,
aku tak lagi bicara hanya sedang merasakan debaran jatungku sendiri yang
semakin kencang.
“Yuk
turun, udah sampe” Ajak Audry
“Kok
kesini”
“Nostalgia
awal pacarana sama kamu dulu”
Aku
turun dari mobil Audry tertera tulisan besar “Café Keboen” awal pacarana dulu
Audry mengajak ku ketempat ini. Sudah 4 tahun yang lalu tidak kesini belum
begitu banyak yang berubah termasuk perasaan ku kepada Audry.
Aku
memasuki café keboen yang bergaya vintage romantic itu Audry menggiringku ke
taman belakang café ini, aku mengikuti langkahnya dari belakang dan tercengang
kaget sesampainya di taman belakang café yang sudah di sulap sedemikian rupa
dengan begitu cantik. Begitu banyak bunga berwana putih dan merah ditambah
balon balon berbentuk love dan beberapa foto kita dulu yang digantung disetiap
sudutnya. Lalu balon bertuliskan “will
you marry me?” dengan ukuran cukup besar terpangpang disana, aku terharu
dengan usaha Audry aku tidak bisa berkata-kata lagi, aku hanya ingin memeluk
tubuhnya saat ini.
“will
you marry me Gynta?” Ucapnya pelan sambil mengeluarkan cicin dari kantong
celananya
“Audry
sumpah aku…akuuu bingung harus ngomong apa..”
“Aku
udah gak mau lagi Cuma sekedar pacaran, untuk membuktikannya mari kita
menikah!”
“Tapi…”
“Aku
sayang kamu Gynta”
“Ini
terlalu cepat, kasih aku waktu ya Dry..sorry”
“It’s
Okay, aku gak akan nyerah, Kita makan dulu ya” Ucapnya dengan senyum penuh
kekecewaan.
Bukan
aku sok jual mahal dengan bersikap seperti ini kepada Audry jujur saja rasaku
kepadanya masih sama, tapi lukanya pun masih begitu melekat. Boleh kan sedikit
saja aku melihat usahanya. Ini tidak sebanding dengan aku empat tahun ini
merindukannya. Aku yang empat tahun ini begitu menderita karna mencintainya
sendirian.
Kami
menghabiskan malam yang terasa panjang berdua di café itu, mengenang segalanya
menjelaskan segala tanya dan mengutarakan apa yang tidak sempat terutarakan.
Aku lega kali ini aku sudah mengeluarkan semuanya, mengeluarkan segala tanya
dan kepedihan hati yang ku simpan sendirian. Ketika waktu di jam tanganku
menujukan pukul 00:00 kami memutuskan untuk segera pulang kerumah.
***
“Bunn..
Gynta pulang” Teriak ku saat memasuki rumah, aku yakin Bunda sudah tertidur
pulas. Aku menaiki anak tangga dan bergegas menuju kamar.
“Lo
baru balik?” Tanya Divan mengagetkan ku.
“Van?
Dari tadi ?” tanyaku sambil melempar tas selempang ku kesembarang arah.
“Abis
dari mana sama si playboy?”
“Lo
tuh kenapa sih Van”
“Lo
harus hati-hati Ta sama Audry, jangan terlalu percaya”
“maksud
lo?”
“Jangan
terlalu percaya diri apa yang dia lakukan ke elo itu sungguh-sungguh”
“Van,
setiap orang tuh bisa berubah termasuk juga Audry”
“Gue
gak yakin, emang lo yakin? Hati-hati Cuma dijadikan pelarian sesaat saat dia
lagi ada masalah sama ceweknya”
“Please
Van, tadi dia ngelamar gue! Pake makan malem romantic pake tulisan “will you
marry me” lo fikir menikah itu mainan? Lo fikir kalo dia main-main buat apa sih
itu semua Van???”
“Gue
nungguin lo dari tadi, gue khawatir. Tapi bagus kalo lo baik-baik aja. Gue Cuma
mau bilang Hati-hati, Gue liat apa yang ga harus gue liat dan semua sudut
pandang gue berbeda tentang Audry dan semoga aja dia memang sudah lebih baik”
“Maksud
lo?”
“Itu
gue bawain martabak green tea, dimakan ya! Gue balik dulu”
“Tunggu
Van, are you okay ?”
“Ta,
boleh gue minta tolong sama lo satu hal?”
“What?”
“Peluk
gue sekali aja malam ini sebelum gue balik, please”
“Lo
lagi gak enak hati? Lo kenapa?”
“Please”
Ucap Divan dengan wajah memelas. Aku memeluk tubuh kekar Divan, aku
menganggapnya sebagai sahabat terdekatku orang yang setidaknya penting setelah
orang tua ku, sahabat yang selalu ada untuk ku, jadi arti pelukan ini hanya
sekedar itu. Aku memeluknya erat dia pun membalas pelukan ku dengan erat.
“Van,
lo cerita dong lo kenapa?”
“Bokap
nyokap lo berantem lagi? Lo tidur disini aja deh yah, kamar tamu kosong ko”
“Lo udah
makan?”
“Ta..
makasih ya..” Ucap Divan sambil melepaskan pelukannya.
“Gue
balik dulu”
“Lo
yakin mau balik aja?”
“Gue
bakalan cerita nanti kalo waktunya pas! Bye Gynta” Ucapnya sambil meninggalkan
kamarku.
Entah
mengapa bayangan Divan terasa nyata malam ini, sikapnya barusan sebenarnya
membuatku nyaris salah tingkah. Divan ? apa ada yang salah dengan mu?
***
Sore
ini, aku duduk di sebuah café ditemani secangkir cappuccino hangat, beberapa
buku manajamen bisnis, dan laptopku. Kubuka tuga akhirku, aku berniat untuk
menambahakan beberapa kalimat kedalamnya, namun rasanya malas sekali.
Kupandangi sekelilingku, rata-rata pasangan yang sedang menikmati indahnya masa
pacaran. Lalu Karena bosan kuputuskan untuk membuka aplikasi game “the sims”
untuk sekedar mencerahkan fikiranku yang sedang kusut.
“Main
game mulu, gimana tugasnya mau kelar” Ujar Divan sambil mengelus rambutku,
kemudian terduduk didepanku dengan ice mocachino kesukaanya.
“Salah
tempat nih kayaknya, orang pacaran semua, jadi envy, terus males ngerjain deh”
Jawabku dengan muka BT.
“hahaha
makanya, Lo move on dong” Ujar Divan lagi sambil tertawa lepas.
“Lo
semalem kenapa si Van?”
“HAHAHA
Semalem? Enggak kenapa-kenapa kok. Udah cepet kerjain dulu tugasnya tinggal
nyalin doang sini gue bacain”
“Iya,
Iya” aku membuka lagi tugasku kemudian mulai mengetik kalimat yang dibacakan
Divan.
Hampir
2 jam aku mengetik tugas ku, tiba-tiba Audry berhenti membaca dan membuka
ponselnya. Aku meneguk Capuccino ku yang tak lagi hangat.
“Ta,
Gue harus jemput Nessa, Gue duluan yah. Lo lanjutin nih” Ujar Divan sambil
memberikan buku ku.
“Nessa?
Nessa siapa? Kok lo gak cerita?” Ucapku heran.
“Nessa,
hahaha anak akutansi. Pdkt-an baru gue”
“Oh
Nessa yang tinggi putih berwajah arab itu?”
“Iya
Nessa yang itu!” Ucap Divan sambil tersenyum kearah ku.
“Oke,
salam sama Nessa” aku tersenyum sambil mengambil buku dari tangan Divan.
Kemudian
Divan pergi, meninggalkan keheningan lagi di hati ku. Perasaan apa ini? Aku
sedang cemburu ? pada dia? Sahabat dekatku ?
Tak
lama handphone ku berdering satu panggilan dari Audry. Entah mengapa hari ini
aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. Aku mengabaikan telephone dari nya
dan focus pada tugas ku. Tak lama Audry mengirimkan pesan melalui aplikasi line
“jalan yuk” ucapnya disana. Aku sedang menahan diri untuk tidak membalasnya
dengan cepat namun akhirnya aku balas juga “jemput aku di café Browny deket
kampus” dan tak lama dia datang.
Dia
terduduk didepanku, tapi rasanya berbeda dengan Divan ketika tadi ada di
hadapanku. Aku merasa hangat merasa tidak perlu merisaukan apapun. Sedangkan
kali ini ketika Audry yang terduduk disana fikiranku terasa sangat kacau, dan
lagi-lagi logika dengan hatiku berperang. Lalu siapakah yang akan menang?
“Nonton
yu” Ajak Audry manis
“Aku
lagi banyak banget tugas nih Dry dan lusa harus dikumpulin, aku pengen cepet
cepet nyusun skripsi biar cepet-cepet lulus soalnya”
“Hemm..
Oke, aku temenin disini aja sampe tugas kamu beres ya”
“Iya”
Ucapku sambil tersenyum.
“Ta..”
“Ya”
“Jadi,
kamu masih ragu?”
“Kita
mulai lagi dari awal, kita perbaiki lagi. Kita menikah. Kita akan bahagia. Dan
aku akan selalu berusaha membuat kamu bahagia”
“Audry,
kamu bener-bener serius dengan ini?”
“kalo
gak serius buat apa ini semua Ta! Buat apa aku capek-capek melakukan ini Ta!”
“Jangan
gantungin aku, Aku mohon”
“Oke
kita mulai lagi” Aku sudah Lelah dengan peperangan ini, kali ini hati ku yang
menang.
“Maksudnya?”
“Ayo
kita benahi, kita mulai lagi hubungan kita”
“Thankyou
Gynta” kulihat wajah sumringah Audry terpancar disana, aku tersenyum lebar
seolah penuh arti meskipun setidak yakin itu memulai nya kembali, semoga saja
kamu benar Audry semoga saja kamu kali ini benar.. benar-benar untuk ku.
***
Aku
tertidur di atas kasurku yang empuk, setelah habis menonton Film terbaru dengan
Audry tadi. Benarkah aku masih mencintainya? Mengapa ada yang berbeda dengan
rasa yang kali ini sedang aku rasakan?.
“Ta! “
Sapa Divan yang tiba-tiba masuk ke kamarku dengan suaranya yang khas.
“Van..
Lo abis dari mana?” entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Gue?
Gue abis ngantern Nessa ketemu temen-temennya” Jawab Divan sambil membuka
laptopnya.
“Gue
ikut buka email ya, Wifi rumah gue rusak”
“ Gue
udah milih” Ucapku masih dengan posisi yang sama seperti tadi.
“Memilih
apaan?” tanya Divan cuek dan masih asik dengan laptopnya.
“Memilih
menjalani dengan Audry. Mengiyakan ajakanya untuk bersama lagi”
“Oh..
Selamat. Semoga Lo menemukan kebahagian lo yang baru sesuai dengan yang lo
inginkan”
“Lo
sama Nessa gimana?”
“Gue
gak mau buru-buru Ta, santai aja” Ucap Divan sambil tersenyum kearah ku.
“Maksud
lo gue terlalu buru-buru memutuskan?”
“Engga,
lah siapa yang bilang gitu..”
“Kok
gue ngerasanya lo lagi nyindir gue”
“HAHAHA
Baperan lu! Semoga lo bahagia ya Ta, Gue sayang sama lo” Ucapnya lembut membuat
hati ku seolah bergejolak entah apa. Entah apa ini.
“Gue
sayang lo, sayang banget”
“Maksud
lo” tanyaku sambil terduduk di pinggir tempat tidur.
“Gue
udah anggep lo lebih dari sahabat. Lo udah kaya adik,kakak, sodara, orang tua
dan lain sebagainya buat gue. Lo itu penting buat gue Ta! Lo itu penting banget
buat gue”
“Gue
sayang sama elo Ta” Ucap Divan dengan senyumnya yang khas seolah pisau belati
yang menusuk ke ulut hati ku. Ada apa dengan ku. Apa ini?
“Nah
beres, Gue balik ya! Jangan begadang, lo harus tidur biar mata panda lo itu
ilang” Ucapnya sambil membereskan laptopnya dan bergegas pergi.
“Van..”
“Ya?”
“Thankyou
ya!” Ucapku
“Thankyou
for what?”
“makasih
udah ada dan mau jadi sahabat Gynta”
“Apaan
sih lo! Hahaha udah ya gue balik” ucapnya dan berlalu.
Malam
ini aku tak melihat kekecewaan dari mata Divan, hanya saja kata-kata “gue
sayang lo Ta” milik Divan terdengar lebih tulus dan menusuk hati ketimbang
pernyataan Audry.
***
Pagi
ini aku duduk di kursi taman kampusku. Sejuk sekali rasanya pagi ini. Kulihat
sekelilingtku beberapa mahasiswa berlarian menuju kelasnya mungkin, ada juga
yang sedang berjalan ringan sambil berbincang dengan teman-temannya, ada juga
yang akan melanjutkan mengetik tugasnya, iya, itu aku.
“Beteeeeeeeeeeeeeeee”
Tiba-tiba Divan datang menghampiriku dengan wajah yang terlihat murung.
“Kenapa?”
tanyaku sambil membuka laptopku.
“Nessa
marah-marah sama gue”
“Lah
gara-gara?”
“Gue
telat jemput”
“Hahahaha”
“Gue
kecapean banget tidurnya pules banget jadi kesiangan bangun dan Nessa ada kuis
jam 7 sedangkan gue baru jalan dari rumah jam 7 kurang jadi dia gak bisa ikutan
kuis dan marah-marah sama gue”
“Emang
gak dibangunin? Alarm lo?”
“Hahaha
kata nyokap sih udah dibangun tapi tidur gue kaya orang mati”
“HAHAHAHAHA,
yaudah sabar bentaran lagi juga baikan kok” ujarku menenangkan
“Gak
usah baikan juga gak apa-apa lah, ilfeel gue. Belum jadi pacar aja udah
ngeselin”
“Dasar
Playboy hahaha. Nih, pasti tadi engga sempet sarapan” aku memberikan kotak
bekalku.
“hehe,
tau aja Ta. Gue makan nih ya, biar engga keterusan emosi haha”
Aku
mengangguk tersenyum melihat Divan memakan dengan lahap roti bakar yang ku
buat.
“Tar
balik kuliah lo dijemput Audry Ta?”
“Hemm
kayanya sih iya, kenapa?”
“Engga
kok, hehe take care ya. Dan makasih ini enak. Gue ada kelas nih. Gue duluan
ya!” Ucap Divan kemudian berlalu. Aku menatap punggung Divan yang berjalan
menjauh. Ada apa ini, sebelumnya aku tak pernah merasakan ini.
“Ta,
Ada yang nyari tuh di kantin” Ucap Abe mengagetkan lamunanku.
“Hah?
Siapa?” tanyaku heran.
“Nenek
Sihir, Eh maksud gue, gue gak tauu tapi nyeremin kaya Nenek sihir” Ucap Abe
sambil berlalu. Aku membereskan laptop dan beberapa buku ku dan berjalan menuju
kantin. Aku memasuki kantin sambil
celingak celinguk mencari seseorang yang tadi dibicarakan Abe dengan hati yang
penasaran.
“Disini”
Teriak seorang wanita dengan baju berwarna hitam dan mata yang sangat tajam
menatap ke arahku. Ya! Fradella dia ada disini, dia mencari ku dengan mimik
wajah siap menerkam ku. Aku berjalan santai seolah biasa saja, dengan mimic wajah
yang aku buat sepolos mungkin sambil mengatur langkah dan nafasku yang terasa
kencang sekali.
“Hay
Dell, ada apa nyari gue?” Sapaku ramah dengan senyum terbaik yang aku miliki.
“GAK
USAH BELAGAK BEGO DEH, ATAU EMANG BEGO BENERAN?” Ucapnya sinis sambil setengah
berteriak, beberapa pasang mata disekitar langsung memfokuskan matanya kearah
kami, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.
“hmm..
Sorry nih Dell, Gue beneran gak faham dan kalo bisa volume suara lo kecilin
dikit ya, gak malu emang teriak-teriak dikampus orang?” aku masih menggunakan
Bahasa yang halus dan nada suara yang ramah.
PLAKKKK!
Tamparan Fradella mendarat mulus dipipiku aku berdiri kaget sambil memegang
pipiku yang terasa panas.
“Kenapa
sih lo?” Aku bertanya masih dengan nada yang halus, sekarang semua pasang mata
tertuju kerah kami.
“GAK
PUNYA HARGA DIRI! PERUSAK HUBUNGAN ORANG! SEKALI LAGI GUE INGETIN YA TA, JANGAN
PERNAH MACEM-MACEM SAMA GUE, KARNA GUE ENGGA AKAN SEGAN SAMA LO! JAUHIN AUDRY!
DI PERUT GUE SEKARANG, ADA ANAKNYA DIA! DIA HARUS TANGGUNG JAWAB! LO GAK BISA
BAWA DIA GITU AJA DARI HIDUP GUE! LO GA BISA HADIR LAGI DI HIDUP AUDRY! DIA
MESTI TANGGUNG JAWAB” Della meracau, dia berteriak sekarang sambil menangis
hebat, matanya merah, aku shock aku tak menyangka untuk sekian kalinya Audry
membuatku merasa jatuh, jatuh yang teramat jatuh. Aku ingin memeluk Della kali
ini, aku tau apa yang ia rasakan. Kacau, kalut dan entah apa mungkin lebih dari
yang aku bayangkan. Aku tercengang, aku membisu.
“GUE
TAKUT TAAAAA! GUE TAKUT AUDRY NINGGALIN GUE SENDIRIAN, GUE GAK MAU NANGGUNG
MALU INI SENDIRIAN!! LO PEREMPUAN DAN GUE JUGA SAMA, LO HARUSNYA NGERTI
PERASAAN GUE TA!” Della terduduk kembali kali ini dia menangis, aku
menghampirinya dan memeluk tubuhnya yang bergetar hebat, namun Della mendorong
tubuhku, wajahnya terlihat marah sekali. Aku kehabisan kata-kata.
“PLEASE
JAUHIN AUDRY! GUE KESINI CUMA MAU BILANG ITU” Ucap Della sambil bergegas pergi
sambil menghapus sisa air matanya di sudut matanya yang cantik itu. Aku
terduduk di meja kantin rasanya muak. Beberapa pasang mata yang sedari tadi
begitu ingin tahu perlahan satu persatu meninggalkan ku. Aku membawa tas laptop
ku dan tas berisi beberapa buku sambil menahan air mata yang rasanya sudah tak
kuat untuk terjatuh. Aku berjalan setengah berlari, berdiri tepat didepan kelas
Divan, aku tahu mata kuliah Divan sebentar lagi habis.
“Gynta?”
Sapa Rosa teman satu kelas Divan saat membuka pintu kelas untuk pulang
“Vannnnn,, ada Gynta” Teriaknya memanggil Divan dengan nyaring, “Gue balik
duluan ya” Sapa rosa dan aku hanya membalasnya dengan senyuman manis.
“Hay
Ta? Kenapa?” Divan menyapa ku hangat, tanpa fikir panjang lagi aku memeluk
tubuh Divan didepan pintu kelas disaksikan beberapa anak kampus teman
sekalasnya Divan dengan heran. Aku menangis.
“Are
you okay?” aku tak menjawab aku hanya menangis kencang sambil memeluk tubuh
Divan dengan erat.
***
Permasalahannya
adalah, Cinta. Aku sudah cukup banyak mencoba memahami hal tentang perasaan,
sayang, dan hubungan akan tetapi mengapa lagi dan lagi aku harus merasa luluh
oleh satu orang yang pernah membuat kesalahan fatal kemudian kecewa? Orang
bilang, ini Karena terlalu cinta. Kufikir, tidak. Sebab cintakah bila terlalu?
Dan lagi-lagi orang bilang, aku keras kepala, kubuat segala perih terasa
sah-sah saja asalkan tidak kehilangannya. Aku tidak menyangkal itu, seperti aku
yang tak bisa menyangkal rasa ini.
Hujan
di luar mobil Divan turun dengan deras sama dengan di pelupuk mataku, aku
menangis dengan kencang di mobil Divan dengan kekecewaan sebesar gunung. Aku tak
menyangka Audry sejahat itu, aku tak menyangka aku terjebak cinta palsunya
lagi.
“Perlu
gue temenin?” Tanya Divan sambil mengelus rambutku halus.
“Gak
usah, Gue sendiri aja” aku menarik nafas panjang, menuruni mobil Divan tanpa payung
membiarkan hujan membasahi tubuhku sambil berlari kecil ke sebuah café milik
Audry.
“Dry
Café” tertera besar di depan café itu , café dengan gaya vintage yang kental
sekali. Aku memasuki café itu perlahan sambil menghapus sisa-sisa air mataku.
Café itu sudah sepi mungkin dikarenakan sebentar lagi akan tutup karna jam
sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.
“Mas,
Audry nya ada?” sapaku mencoba ramah kepada salah satu pekerja di café
tersebut.
“Hmm..
Mbak siapa ya? Sudah ada janji sebelumnya?” Tanyanya
“Gue?”
Tanyaku sinis.
“Iya
Mbak siapa ya?” Ucap waiters itu mengulang pertanyaanya.
“Gue
calon-nya Audry, sekarang Audry-Nya mana???”
“Oh,
maaf mbak Pak Audry sedang tidak bisa diganggu untuk saat ini, mungkin bisa
lain kali”
“Itu
mobilnya ada diluar, gak bisa diganggu? Sesibuk apa sih?”
“Maaf
banget mbak, tapi mungkin bisa lain kali…”
“AUDRY,
KELUAR LO!!! KELUAR SEKARANG JUGA!!!” Aku berteriak seolah bukan lagi aku, aku
benar-benar sudah tidak ingin lagi merasa kalah dengan hati ku.
“APAAN
SIH RIBUT-RIBUT” Bentak seorang wanita sambil menuruni tangga dan menatap sinis
kearahku.
“Siapa
lagi ini” Gumanku dalam hati.
“LO
FRADELLA?” Tanyanya ketus sekali
“Bukan
nama gue Gynta, dan gue ada perlu sama Audry. Ini penting”
“GYNTA?”
“Gynta…”
Ucap Audry dengan wajah kaget menatapku.
“Iya,
Gue Gynta.. Gynta yang berkali-kali lo bego-begoin dan masih aja mau! Iya ini
gue Gynta… yang selalu saja terjatuh dengan janji janji palsu lo! Iya gue
Gynta, yang sebodoh ini masih mau terlena sama ucapan bulshit lo itu! Tepuk
tangan buat lo Audry, dan ini siapa? Dia siapa? Ini yang lo lakuin sama gue ?
sama fradella? Ini cara lo Audry? Gue ga nyangka lo sejahat ini, Audry yang gue
puja dan puji sejahat ini. Audry yang kemaren ngemis-ngemis demi kesempatan
kedua ternyata sebrengsek ini”
“Ta,
denger dulu penjelasan gue” Audry menarik tanganku, aku menghempaskan tanganya
dengan wajah yang teramat sangat marah. Seketika ruangan café itu terasa sangat
dingin, dingin menusuk hingga ke jantungku.
“Penjelasan
? Lo anggap gue apa disini?” PLAKKK…. Tamparan mendarat mulus di pipi kanan
Audry dari wanita berwajah judes tapi cantik itu.
“Mona,
Please.. berkali-kali gue bilang, gue gak bisa sama lo, gue bener-bener gak bisa..”
“setelah
semua ini, setelah penantian panjang gue? Setelah gue menunggu lo putus dengan
fradella selama ini dan lo tetep engga bisa memilih gue? Setelah tubuh gue ini
lo pake? What do you think Audry?” wanita itu mendorong tubuh tegap Audry hingga
jatuh tersungkur kemudian menatap wajahku dengan sinis sekali seolah ingin
memakan ku hidup-hidup.
“Lo,
enggak seharusnya ada Gynta. Lo engga seharusnya ada disini” Ucap wanita itu
geram dengan posisi tangan yang siap siaga menampar wajahku dengan keras.
“LO
SENTUH DIA, URUSANNYA SAMA GUE!!!” Teriak Divan keras sambil membalikan
kemudian memeluk tubuhku yang kaku dan pucat pasi.
“OKE,
GUE AMBIL ALIH DISINI. SATU. KHUSUSNYA BUAT LO KAMPRET, KALO SEKALI AJA GUE
LIAT LO GANGGU LAGI HIDUP GYNTA GUE GA SEGAN-SEGAN BUAT BIKIN HIDUP LO ANCUR
LEBIH DARI BONYOK DI WAJAH LO. DUA. BUAT LO CEWEK KAMPUNG YANG GAK PUNYA HARGA
DIRI, SEKALI LAGI GUE LIAT LO GANGGU HIDUP GYNTA, GUE BAKALAN BIKIN LO NYESEL
UDAH PERNAH HIDUP DI MUKA BUMI INI.” Ucap Divan geram dan membopong tubuhku
keluar dari café, namun sebelum keluar dari café itu sempat aku melirik Audry
dan berkata kepadanya “Terimakasih untuk rasa pahitnya” lalu aku berlalu.
**
Semenjak
kejadian itu, aku jadi tak banyak keluar rumah bahkan keluar kamar. Selain karna
masih merasa terpukul sudah beberapa hari ini hujan turun terus-menerus. Aku masih
suka melihat titik-titik air di kaca jendela, aku masih suka dengan aroma hujan
ketika turun membasahi tanah. Dan perlu kamu tahu, aku memang masih mencintai
hujan, bahkan sangat. Hanya saja kali ini, alasannya bukan lagi kamu, tidak
pernah lagi kamu. Aku hanya ingin menyatakan bahwa pertemuan hujan masih dan
akan selalu menyenangkan, sekalipun bukan dan tidak akan pernah lagi tentang
kamu.
Hari ini
aku sepakat dengan tuhan mengenai rasa sakit, marah, benci ataupun kecewa yang
berlebihan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua yang aku inginkan akan
menjadi kepunyaanku, tetepi akan dikabulkan dalam bentuk yang lebih baik, kelak
di waktu yang tepat.
Aku meraih
laptop ku yang berwarna gold kemudian membukanya, ada beberapa email masuk yang
belum sempat aku buka, tertera empat email dari kampus dan satu email dari
Divandra. Hmm Divan? Semenjak kejadian itu dia bahkan tidak pernah mampir
kerumah, tidak ada chat atau telephone, kufikir mungkin dia memberikan ruang
sendiri untuk ku menenangkan diri. Kubuka isi email itu dengan segera.
Dear
Gynta,
Aku
tahu aku menyukai seseorang ketika aku bisa tertawa hanya Karena mendengar
suara tawanya. Sesederhana itu.
Memiliki
seseorang yang bisa menciptakan atmosfer tawa kapanpun dan dimanapun adalah hal
yang sanagat membahagiakan.
Dan akan
lebih membahagiakan lagi, jika akulah penyebab tawa mu itu.
Kadang-kadang
dunia tidak lucu, dan juga tidak berusaha melucu, lalu kamu ada. Seolah-olah
kamu memang hadir untuk membuat duniaku cerah, berseri dan indah.
Kemudian
aku jatuh cinta, pada kamu dan tawamu.
Tapi kamu
hanya tertawa, hanya tertawa…
Lalu aku
tersadar, itulah bagian terlucu dari semuanya.
Karena
bagimu, aku tidak mungkin bisa lebih dari pertemanan ini.
Sekali
saja, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya melihat diriku sendiri dari
matamu.
Itu saja,
sudah cukup..
Aku membaca
Email itu sembari menghapus beberapa titik air mata yang menetes di pelupuk
mataku. Sejauh ini aku tak pernah sadar akan besarnya pengorbanan Divan,
besarnya perhatian Divan. Mengapa seterlambat ini aku menyadari semuanya, semua
perhatiannya semua caranya memperlakukan ku dengan begitu special. Mengapa baru
sekarang aku menyadarinya, setelah sejauh ini.
Aku meraih
handphoneku dan menekan nomor telephone Divan dengan tergesa-gesa.
“Hallo”
sapanya hangat seperti biasa.
“Hallo,
Van.. Lo dimana?” aku bertanya dengan nada naik turun tak karuan.
“Gue?
Gue di kampus, kenapa?”
“Oke,
lo masih lama disana?”
“Hmm kayanya
sih, kenapa? Eh ada apaan sih?”
Klik
telephone ku matikan sebelum menjawab pertanyaanya, aku bergegas berpakaian dan
mengeluarkan mobil ku dari garasi dan bergegas menuju kampus.
Sepertinya
hari ini sedang bersahabat denganku meskipun hujan turun dengan deras namun
jalanan lenggang sekali hingga tidak memakan waktu yang lama aku sudah sampai
dikampus, aku berlarian kecil menyebrangi lapangan kampus dan mencari sosok
Divandra itu berada.
“DIVAN!!!”
Aku berteriak keseluruh penjuru kantin, kulihat Divan sedang asik dengan
laptopnya dan terheran-heran memandangku, aku tersenyum kecil dan berjalan
cepat menghampirinya, aku terduduk di depan nya sambil tersenyum manis sekali.
“Tidak
apa-apa pahit di awal, tapi manisnya belakangan aja. Kaya kopi, aku pernah
memulai semuanya dengan pahit. Aku yang dihantui ketakutan ini dan itu. Dan dari
semua kepahitan itu, kamu ngajarin aku untuk menerima semua hal yang
menyakitkan, untuk engga nyerah menghadapi kondisi buruk. Karna kamu aku jadi
kuat menanggung smuanya, sepahit apapun yang menimpa aku. Aku engga mau lagi
melewatkan rasa manis dengan kamu yang mungkin engga akan pernah aku rasain
kalo sama orang lain, jadi kamu mau?”
“Are
you okay Ta?”
“Jadi
kata siapa kita gak bisa lebih dari pertemanan ini?”
“kamu
udah baca Email receh aku?” Divan baru ngeuh dan tersenyum malu, wajahnya
memerah.
“Thanks
ya Divan, sudah mengakuinya sebelum benar-benar terlambat…”
“Jadi
kamu mau?”
“Yes, I
do” ucapku penuh keyakinan disambut dengan wajah berseri milik Divan.
Terimakasih
Divan dengan mu aku mengerti satu hal, ini bukan hanya tentang bahagia tetapi
juga membahagiakan….
TAMAT.