Kamis, 02 Maret 2017

connoisseurs rain



"Salah satu hal yang paling tidak kusukai adalah memakai jas hujan"

Bandung hari ini, saat aku akan pulang kerumah seusai beres mata kuliah manajemen ekonomi, langit mulai gelap dan gerimis mulai menembaki tubuhku. Beberapa mahasiswa yang entah siapa sibuk mencari tempat berteduh bahkan ada yang memilih berlari lebih kencang agar segera tiba dikelas. Tapi aku tidak . jalan ku santai tapi dengan langkah yang cukup besar supaya aku bisa segera mengendarai kendaraanku dan segera sampai dirumah. Sebetulnya dibawah jok ada jas hujan, jas hujan berwarna hijau tosca pemberian sahabat dekatku Renata, tapi memang dasarnya aku malas jadi jas hujan itu jarang sekali aku gunakan. Sebenarnya sih aku memiliki alasan yang cukup kuat mengapa aku tidak suka menggunakan jas hujan selain Karena dipakai atau tidak dipakai toh akan tetap basah juga, lagipula aku memang senang menikmati dinginnya hujan. Motorku melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota Bandung yang terlihat lenggang sore ini.
Entah mengapa aku selalu merasa Hujan itu identik dengan kenangan. Semakin banyak air yang membasahi sekujur tubuhku sore ini, semakin dahsyat pula kenangan itu menggedor hatiku.  Entahlah hujan memang begitu, hujan selalu punya cara untuk membangkitkan kenangan meskipun aku sudah memilih untuk tidak berteduh dan focus pada perjalanan.
“Aku sayang kamu Gynta”
“Aku gak tau kenapa sih, tapi aku sayang kamu”
“Aku tahu kalimat tadi terdengar apa banget, tapi aku serius Ta.. Kamu mau kan jadi pacarku?”
“Iya” aku hanya menjawab singkat dan segera menerbitkan senyum sebagai jawaban untuknya.
Tapi sayangnya itu hanyalah obrolan 4 tahun yang lalu yang kebetulan kembali teringat. Ketika semua sedang indah-indahnya terlebih untuk ku yang baru pertama kali jatuh hati.
Lalu tak lama, ya tidak cukup lama untuk ku. Yang terjadi kemudian adalah :
“Kayaknya kita harus berhenti,aku udah gak bisa lagi Ta.. kita gak cocok. Sorry banget ya Ta, kita putus aja”
“Kalau kamu sulit lupa, pelan-pelan aja”
“Aku tau ini salah, tapi Maafin aku”
Kala itu aku hanya bisa diam, kemudian hanya bisa mengangguk lirih sebagai jawaban untuk nya.
4 tahun memang sudah berlalu, tapi aku tidak pernah bisa melupakan sebentuk wajah itu ketika terakhir kali aku melihatnya. Dan bahkan hingga detik ini aku belum paham dengan konsep “pelan-pelan saja” yang dia tawarkan. Tapi sudahlah, setidaknya aku masih beruntung Karena sebagian orang bahkan tidak mendapatkan ucapan selamat tinggal.
Rumah sudah dekat tinggal satu belokan lagi. Dan hujan semakin deras baju dan celanaku sudah basah kuyup. Badanku menggigil, aku pasti akan dimarahi Bunda Karena hujan-hujanan. Aku mulai menyesali keputusanku tidak memakai jas hujan. Sama seperti aku menyesali ketidakmampuanku memahami konsep melupakan seseorang itu. Aku seharusnya bisa melakukan banyak cara untuk melupakannya, tapi sayangnya aku hanya belum mau.
Aku terlalu angkuh mengatakan bahwa badanku kuat terkena hujan sederas apapun itu, tapi buktinya aku sudah merasa lemas dan tidak enak badan sekarang. Sama kayak aku yang terlalu angkuh mengatakan bahwa hatiku kuat mengenang semanis apapun kenangan itu, tapi nyatanya aku tetap merasa sakit setelahnya. Ternyaya Aku tersadar sekuat-kuatnya aku, aku tetap butuh pelindung. Aku butuh seseorang yang bersedia mengingatkanku bahwa tidak apa-apa kalau aku tidak baik-baik saja, tidak apa jika aku sedih, dan aku tidak perlu sok kuat di hadapannya.
Aku mengaku kalah. Di bawah jok motor, jas hujan itu pasti sedang diam-diam menertawakanku.
***
“Gynta pulang…” Ucapku pilu sesampainya dirumah dengan sekujur tubuh basah kuyup, Bunda yang baru beres membereskan dapur kaget melihat aku yang seberantakan itu.
“Masih males buat neduh dulu ? masih males buat sebentar aja neduh dan pake jas hujan?” Sindir Bunda dengan muka kecut.
“Gynta males Bunda, pengen cepet nyampe rumah”
“Ta, Kamu tuh bukan anak SD lagi kan? Yang masih senang main basah-basahan? Kapan sih kamu dewasanya?”
“Bun, Gynta capek.. jangan sekarang ya ceramahnya” Ucapku sambil menaiki anak tangga menuju kekamarku yang terletak di lantai dua.
“Tadi Renata telephone Bunda katanya nelephone kamu gak diangkat-angkat saja, coba telephone balik sepertinya penting” Teriak Bunda nyaring.
Aku melemparkan tas ku kesembarang arah, masih dengan tubuh yang basah kurebahkan diri di atas karpet lembut dikamarku yang bernuansa serba putih. Ku raih handphone ku tertera lima belas panggilan tak terjawab dari Renata Ulani, Ya Renat sahabat terdekatku. Kami sudah bersahabat sejak di taman kanak-kanak rumahnya tak jauh dari sini. Sejak Tk hingga Sma kami selalu duduk sebangku, dimana ada Renat disitu ada aku, tapi Karena cita-cita kami berbeda kami akhirnya memilih universitas berbeda, Aku mengambil Manajemen Bisnis sedangkan Renat mengambil Sastra Indonesia Karena Renat memang menyukai sekali segala jenis bentuk sastra. Meskipun kita berbeda dalam segala macam-nya dari mulai karakter dan cita-cita tak disangka persahabatan kami bisa seawet ini. Aku tak menggubris telephone Renat, aku sedang ingin sendiri.
“Audry, sekarang bagaimana kabar mu? Masih ingatkah dengan ku? Aku Gynta mu, Gynta mu 4 tahun yang lalu..” bisiku dalam hati.
Sayup-sayup terdengar Adzan magrib berkumandang di luar sana, aku tertidur cukup pulas namun sial kepalaku begitu berat, nampaknya efek dari kehujanan tadi sore ditambah aku belum sama sekali berganti pakaian. Tiba-tiba handphone ku berdering melantunkan lagu Let me love you tertera disana “Divandra Alhannan” .
“Hallo” sapaku lemas.
“Ta, dimana lo?” Sapa Divan tanpa basa-basi.
“Dirumah kenapa Van”
“Gue didepan rumah lo, bawa martabak green tea kesukaan lo, kayanya suasana hati lo lagi ga bagus malem ini jadi gue bawain sesuatu sekalian lewat”
“Masuk aja Van, gue ganti baju dulu. Dibawah ada Bunda entar langsung keatas aja ya Vin” Ucapku sambil mematikan telephone selular itu.
Tak lama setelah aku beres membersihkan diri, Divan memasuki kamarku terduduk diatas karpet sambil membuka martabak green tea yang dia bawakan untuk ku.
“Jadi kenapa lo bisa tau suasana hati gue lagi gak bagus ?” tanya ku heran sambil mengerinyitkan dahi.
“Lo kan pernah cerita, setiap kali hujan turun perasaan lo masih belum bisa berdamai sama masa lalu, terus tadi balik dari kosan Dino, Hujan turun deras banget terus keingetan sama lo, makanya langsung kesini bawa ini kesukaan lo, gue kan sahabat yang baik lo wajib berterimakasih sama gue” Ucapnya sambil tersenyum ala-ala tampang playboy gitu. Aku tertawa seolah lupa dengan sakit kepala dan ingatan tadi sore.
“Btw thanks ya Van, Hahahaha iya gue tadi sore mendadak inget Audry sumpah ngerasa nyesek lagi lah pas keingetan”
“Move on makanya Ta” ledek Divan.
“Udah, Cuma masih berproses aja”
“berprosesnya sampe empat taun hahahahhaa”
“Lo mau ngebully gue? Sialan emang!” ucapku sambil melemparkan boneka berbentuk babi kearah muka Divan yang sedang asik membalas chat dari ribuan fansnya itu pasti.
“Lo sama Clara putus Van?” Tanyaku agak serius.
“Kemana aja lo? Baru nyampe ketelinga lo berita itu?”
“Hahahahaha iya tadi pas lagi nyari bahan di perpus pada ngomongin elo gitu, tapi tapi seriusan putus ?”
“Iye, Putus. Udah ada kali dua mingguan”
“Kenapa? Siapa yang mutusin?”
“Clara lah, gue gak sejahat itu kali mutusin cewek kaya mantan lo Hahaha”
“Sial, Hahaha. Lah kenapa dia mutusin lo?”
“Dia cemburu sama lo”
“Hah? Gue?” ucapku kaget
“Iya, emang kedekatan kita gak wajar ya Ta?”
“gak wajarnya sebelah mana sih Van? Lagian Clara kan kenal gue. Dia juga tau gue sama lo deketnya kaya apa, kok bisa sih Van? Heran deh gue, perlu gue tanya sama Clara?”
“Ngapain? Gak usah, lagian males gue sama cewek ribet model Clara, terlalu posesive dan pencemburu. Gue sih kalo disuruh milih cinta apa sahabat, gue pasti lebih milih sahabat”
“lah tapi lo putus gara-gara gue, ya mana iya gue bisa tenang tenang aja kalo ketemu Clara, gue sama Clara satu kelas loh Van”
“Udah biasa aja, pura-pura gak tau aja”
“Renat gak kesini Ta?”
“Gak tau chatnya belum gue bales, tadi sih gue baca dia lagi di Pvj nyari kado buat Pdktannya. Ngapain lo nanya-nanyain Renat? Jangan harap ya gue restuin lo deketin Renat! Big No, ga sudi sahabat gue jadi santapan Playboy model Lo hahaha”  tawa ku pecah.
Divandra Alhannan, cowok berketurunan Arab ini sudah Klik menjadi sahabatku sejak masa ospek dimulai, Tingkahnya yang kocak dan selalu membuat tertawa setidak baik apapun perasaan ku. Cowok berdarah Arab itu memiliki tubuh yang tegap dan wajah yang tampan pantas saja seantero kampus mengidolakan ketampanannya itu, kecuali aku. Dimata ku Divan hanya sahabat baik, sahabat yang bisa memberiku solusi dan bersedia memberikan kuping serta bahunya ketika dunia tidak sedang berpihak kepadaku.
Setelah obrolan dan curhatan-curhatan gak jelas waktu pun tak terasa kian larut, Divan berpamitan pulang dan tidak lupa mengingatkan ku untuk meminum obat masuk angin, aku mengangguk dan melambaikan tangan saat mobilnya melaju pergi dari halaman rumahku.
***
Hembusan angin siang ini perlahan mulai menghempaskan detik detik uap yang keluar dari secangkir teh hangat yang sejak tadi duduk manis di meja kantin kampus. Tanpa ku sadari, sudah lebih dari 30 menit terduduk disini, termenung sendirian padahal niat awalnya adalah menyelesaikan tugas Bu ningsih yang harus dikumpulkan lusa.
Fikiran ku tiba-tiba saja dipenuhi oleh Audry. Ya Audry. Apa kalian pernah merasakan, ketika hati sudah terlanjur sayang? Lalu kemudian tanpa sadar kalian mulai membandingkannya kepada setiap orang  yang mencoba mengetuk dan datang? Sungguh sangat menjengkelkan bukan? Aku pernah mencoba memejamkan mata, mencoba menutup dan menghapus setiap tawa yang Audry torehkan didalam relung ingatan. Tapi apa daya, semakin aku mencoba, bayangnya semakin terasa nyata. Bukan tak pernah aku mencoba mencari sosok lain, tapi selalu berujung dengan penolakan ku, dan selalu dengan alasan “aku belum siap untuk terjatuh lagi” dan itu sudah 4 tahun lamanya.
“Ta, boleh gue bicara sebentar?” Sapa Clara tiba-tiba entah dari mana arah datangnya sambil terduduk manis tepat dihadapanku.
“Eh, iya kenapa-kenapa?” Ucapku heran
“Lo sebenernya ada hubungan apa sih sama Divan?”
“Divan? Clara lo tau kan gue sama Divan temen deket, Divan itu sahabat baik gue dari mulai ospek karna dulu kita sekelompok pas ospek dan engga lebih. Lo mau curiga sama gue ? kayanya engga fair gitu kalo lo curiga sama gue.. lo sama Divan juga sering main bareng sama gue sama Renat kan? Kok lo bisa sih nanya gue sama Divan ada hubungan apa? Aneh gak sih menurut lo?”
“Menurut lo, kalo dia lebih memprioritaskan lo dibanding gue pacarnya apa itu wajar juga?”
“Hmm.. Oke, Gini yah Clara gue bener-bener gak tau lo sama Divan putus karna apa, gue baru tau lo putus sama Divan kemaren dan itu pun dari gossip yang tersebar disana-sini, Gue gak mau tau alasan lo sama Divan putus karna apa, gue bukan tipikal orang yang seneng ribetin masalah orang lain, tapi please jangan bawa-bawa gue kedalam masalah kalian, karna gue bener-bener gak tau dan gak paham kenapa bisa gue dibawa-bawa kedalam permasalahan kalian”
“Belagak polos lo! Gue gak nyangka ya lo gini” Clara mulai meninggi, dan aku semakin bingung.
“Clara, what wrong with you? Oke, aku minta maaf kalo semisalnya gue ada salah, tapi beneran gue gak ngerti kenapa dan ada apa”
“Lo gak cape apa?” Bentak Divan kasar dengan wajah yang merah seperti menahan amarah.
“Lo harus jelasin sama gue ada hubungan apa lo sama dia!!!” Clara semakin emosi, tangannya menujuk-nunjuk wajahku yang tampak linglung siang ini.
“Sini lo!” Divan menarik tangan Clara dengan kasar, baru kali itu aku melihat Divan semarah itu.
“Van, Stop!!!” aku berteriak panik.
“Lo duduk!! Lo Juga” ucapku tegas sambil menunjuk wajah mereka yang sama-sama dipenuhi amarah.
“So, gue harus mulai dari mana dulu?” ucapku belagak so menengahi.
“Kalo lo minta gue jelasin seperti apa hubungan gue sama Divan, Kayaknya lo udah tau deh Clara. Dan gue udah jelasin berkali-kali dari tadi. So whats your problem? Perlu gue sumpah al-quran buat menjelaskan kalo gue sama Divan gak lebih dari seorang sahabat deket? Dan lo Van, gue gak tau ada masalah apa lo sama Clara, please selesaikan tapi gak usah bawa-bawa gue. Oke, Clear?”
“Gue….” Tangis Clara pecah,aku terhenyak. Aku merasa air mata seorang perempuan itu begitu jujur.
“Divan mutusin gue tiba-tiba gitu aja tanpa penjelasan apapun Ta, lo bisa bayangin gak sih perasaan gue yang lagi sayang-sayangnya terus diputusin gitu aja. Dia selalu ga ada waktu buat gue, gue ajakin kesana kesini selalu ada aja alesannya sedangkan buat lo, mau sesibuk apapun dia pasti dateng, dia pasti ada. Boleh kan gue ngerasa Iri sama lo? Gue nangis tiap malem, gue galau, sedangkan dia? Hampir tiap malem ada dirumah lo kan? Bisa lo bayangin ga sih ada di posisi gue”
“Tunggu..tunggu, Van lo boong sama gue!!!” Ucapku dengan wajah yang ketus.
“Lo bilang Clara yang mutusin lo kan semalem? Ini mana yang bener sih” tanyaku bingung.
“Divan mutusin gue gitu aja Ta! Tanpa penjelasan Cuma bilang kita udah ga cocok dan lagi pengen sendiri dulu, ini tuh bener-bener gak adil, setelah apa yang udah gue lakuin buat Divan!” Clara berbicara dengan tersedu, tangisnya pecah. Divan hanya terdiam matanya tepat mentap kedalam mataku, dan baru kali itu aku melihat mata Divan sehangat itu menatap ku.
“Van, Jelasin ini maksudnya apa? Kenapa lo mutusin Clara tanpa penjelasan kaya gitu? Dan kenapa lo bohong sama gue? Lo tau kan? Gue pernah diputusin gitu aja, tanpa penjelasan saat lagi sayang-sayangnya dan itu seribu kaliiiiiiiii lebih sakit daripada diselingkuhin sumpah! Gue pernah ada di posisi Clara, dan udah 4 taun gue berjuang buat lupa. Kenapa lo sejahat itu sih Van?”
“mau lo apa Clara?” Tanya Divan ketus tapi matanya masih menatap mata ku, entah mengapa itu membuat ku salah tingkah.
“Gue pengen semuanya jelas Van, gue bakalan mundur kalo alasan lo ninggalin gue bisa gue terima. Gue bakalan mundur kalo jelas ada orang lain di hati lo! Gue Cuma pengen tau kenapa, apa alasannya. Gue ngerasa ini ga adil kalo lo mutusin gue tanpa alasan yang jelas” Ucap Clara
“Iya, Gue jatuh cinta sama wanita lain. Dan itu alasan gue ninggalin lo. Puas???” Divan menjawab ketus dan pergi meninggalkan Clara yang tidak diberi kesempatan apapun untuk bertanya dan berbicara lagi.
Clara menangis tepat dihadapanku, tangisnya tangisan pilu yang pernah aku alami beberapa tahun lalu. Aku memeluk tubuh mungil Clara yang masih tersedu, aku tidak bisa menyembuhkan lukanya, aku bukan siapa-siapa tapi setidaknya itu bisa membuat perasaanya membaik saat ini.  Setelah aku menyarankannya untuk pulang, Clara menuruti saranku dan bergegas pulang dengan menggunakan taxi. Sedangkan aku, aku masih terduduk dikantin tadi. Setidaknya Clara berjuang meskipun perjuangannya tidak di gubris, setidaknya dia tidak menyerah begitu saja dan pasrah dengan keadaan ketika dibuang begitu saja. Setidaknya dia berjuang sekali lagi untuk hubungannya, setidaknya dia tidak menjadi pecundang. Setidaknya dia sempat bertanya untuk menjawab setiap tanya dalam hatinya, tidak seperti ku yang terlalu pengecut untuk meminta kejelasan, yang terlalu pengecut untuk berjuang sekali lagi, yang terlalu pengecut dan pasrah dengan segalanya.
***
“Taaaa….” Suara nyaring Renat membuyarkan konsentrasiku yang sedang focus dengan tugas makalah yang harus dikumpulkan lusa.
“Apaaan sih?” Ucapku kecut
“HAHAHA” Renat tertawa, di ikuti dengan gelak tawaku juga
“Ta, lo sabtu ini ikut kan?”
“Ikut? Ikut apaan?”
“Reuni, lo gak baca di grup emangnya?”
“Oh… iya iya gue baca, tapi gak tau deh gue dateng apa engga”
“Kenapa? Lo masih takut buat ketemu Audry?” Ucap Renat polos sambil menikmati Ice creamnya.
“Takut? Lah ngapain gue takut ketemu dia?”
“Lo takut, kalo dia tau udah selama ini dan lo masih belum bisa move on”
“Gue udah move on”
“Bohong”
“Kok lo rese sih?”
“Lo ajak Divan aja, buat persiapan kali aja dia bawa calon istrinya”
“What do you mean?”
“Iya Divan kan ganteng, lo pura-pura jadiin dia pacar lo aja, pacar semalem buat reuni biar lo ga tengsin banget kalo dateng tanpa pasangan di depan si Audry”
“Dasar tukang nonton sinetron, ogah ah”
“jadi lo lebih milih jadi pecundang seumur hidup lo?”
Jleb. Kata-kata Renat barusan begitu menusuk ke ulu hati, ingin rasanya marah dan mengacak-acak rambutnya Renat saat ini juga, tapi aku hanya terdiam. Dan kata-kata Renat memang ada benarnya juga. Tapi aku dan Divan sedang musuhan berkat Clara tadi siang, mana mungkin dia mau.
“Hmmm tapi..”
“Udah deh, lo harus dateng wajib banget lo mesti tunjukin sama mereka semua kalo lo udah move on dan baik-baik aja. Gue telephone Divan ya”
Brukkk… Sebuah tas ransel berwarna navy dilempar seseorang dengan semberono kesembarang arah kulihat wajah kusut Divan yang tiba-tiba saja datang entah dari mana asalnya mengganggu obrolan aku dan Renata malam ini. Aku dan Renat hanya bisa melongo tak paham melihat wajahnya yang semraut itu.
“Panjang umur lo Van, baru aja mau di telephone” Sapa Renat kegirangan sambil melirik ke arah wajah ku yang masih melongo.
“Van, lo mau kan bantuin si Gynta ?” ucap Renat lagi
“Van….” Ucap Renat dengan suara stereonya lagi Karena Divan hanya asik dengan telepon selularnya tanpa menggubris Renat sedikitpun.
“Are you okay Van ?” aku mulai buka suara, Divan melirik kearahku dengan ketus.
“Lo tuh kenapa sih Ta, kesel banget gue sama lo!”
“Ya tapi kan lo juga salah Van..” aku mencoba menenangkan diri, Renat tampak kebingungan dengan obrolan kami.
“Gue punya alesan kenapa gue ga bisa sama Clara lagi, gue ga sama ya kaya Audry lo yang ninggalin lo tanpa sebab itu, gue punya alesan. Kalo gue ga bilang sama Clara alesannya apa ya gue Cuma menjaga perasaan dia, ga semua pertanyaan itu butuh jawaban Ta, ga selalu yang jadi tanda tanya itu membutuhkan jawaban. Sekarang yang Clara dapet apa? Nyesek? Rasa sakitnya jadi double kan?”
“Mungkin Audry juga gitu, dia ninggalin gue dengan alasan yang tidak bisa dia sampaikan ke gue karna menjaga perasaan gue, harusnya gue yang ga terlalu berlebihan dan suudon sama dia kaya gini”
“Oke, Stop! Gue ga ngerti dan gak faham apa yang lagi kalian bahas, but gue fikir itu sama sekali gak penting. Yang penting tuh sekarang lo Divan harus banget bantuin Gynta” Ucap Renat memotong pembicaraan kami.
“Jangan gila deh Nat, Gue ogah ah”
“Van lo mau kan bantuin Gynta?” tanya Renat tanpa menggubris ucapanku.
“hmm”
“Oke gue anggap lo setuju ya Van, jadi sabtu ini gue sama Gynta bakalan ada acara prom night party sebagai salah satu mediasi buat reuni sama temen-temen SMA kita, nah kebetulan gue liat di list tamu kemaren kalo si Audry itu bakalan dateng. Gue udah bujuk Gynta buat hadir tapi dia nolak terus mungkin masih belum siap buat ketemu Audry atau masih belum siap di bully kalo ketauan selama ini masih belum bisa move on dari Audry. So… gue tiba-tiba dapet ide brilian, kalo di hari sabtu nanti Gynta harus dateng sendirian itu bakalan terlihat menyedihkan kan Vin? Tapi kalo gak sendirian Gynta harus pergi sama siapa secara temen cowok yang deket aja gak ada kecuali lo hahaha nah gue kefikiran lo aja yang nemenin Gynta, sehari doang pura-pura jadi pacarnya Gynta..”
“Udah deh Nat” aku melempar guling berbentuk banana ke arah Renat yang sedang asik menjelaskan strategi anehnya kepada Davin, dan Davin dengan mimik serius mendengarkan setiap kata yang diucapkan Renat.
“Oke, jam berapa gue harus jemput Gynta?” Ucap Davin sambil menoleh kearah ku yang memandang kearah mereka dengan ketus.
“Van, Gue rasa ide nya Renat itu gila deh”
“Engga Ta ini ide paling bagus menurut gue biar si Audry itu tau lo tuh bukan pecundang dan biar gue bisa liat wajah Audry yang udah bikin sahabat gue stalk selama 4 taun ini”
“Oke. “ aku hanya mengucapkan kalimat itu tanpa menggubris strategi gila mereka lebih jauh lagi yang aku yakini mereka dua sahabat terbaiku itu Davin dan Renat hanya ingin yang terbaik untuk ku, hanya ingin aku baik-baik saja dan bahagia. “So thankyou Nat, Van.. thankyou sudah bela-belain buat gue” gumanku dalam hati.
***
Ini kali pertama aku hadir dalam acara reuni kelas semenjak lulus 3 tahun yang lalu. Bukannya aku sebegitu sibuknya tapi Karena waktu yang diagendakan mereka selalu tidak pernah bertepatan dengan jadwal ku. Singkatnya saja, aku yang selalu berusaha membuat waktunya tidak tepat. Tapi kali ini, entah darimana datangnya niatan itu, aku ingin datang. Rindu barangkali yang sudah meracuni risau ku, memakan habis gengsiku.
Meski kelihatannya niatku untuk datang sudah sebesar itu, tapi kacaunya suasana hati rupanya belum bisa aku kalahkan. Belasan telephone dari Renat tidak aku gubris, jadi hingga detik ini aku masih terduduk di atas tempat tidur sambil membalas chat Divan yang sibuk menanyakan apa yang harus dia kenakan agar telihat keren disana.
Teeet… Klakson menggema didepan halaman rumah aku yakin Divan sudah datang dibawah sana, aku masih berdiri di depan cermin besar debar jantungku masih belum bisa aku atur, mengapa sebegini menyedihkannya menjadi aku Dry? Aku menyisir pelan rambutku yang ku biarkan tergerai panjang, aku hanya mengenakan dress berwarna putih nan sederhana dengan sepatu flat shoes berwarna senada setelah berpamitan dengan bunda aku bergegas menemui Divan.
Divan keluar dari mobil honda jazz warna silver miliknya sambil tersenyum manis, dia tampak tampan hari ini dengan balutan blazer coklat dan kemeja berwarna senada. Aku memasuki mobilnya dan terperangah kaget menemukan handbouket bunga mawar berwarna pink dan putih di jok depan mobil Divan.
“Bunga siapa ini? Cute banget, lo pasti lagi modusin cewek ya” sindirku sambil tersenyum geli.
“Buat lo” ucapnya cuek sambil memasangkan seat belt-nya.
“buat gue? Dalam rangka?” aku terheran-heran.
“Lo pasti tegang banget mau ketemu mantan terindah, biar rilexs haha”
“Sial, gue selow banget kali ini. Inget ya Van lo Cuma pacar boongan gue jangan so bertingkah kaya pacar beneran deh hahahaha”
“Kalo gue pengennya jadi pacar beneran gimana?”
“HAHAHA sama lo?”
“HAHAHA” Tawa kami pecah bersama-sama.
Aku memasuki hotel flowers in dengan jantung yang masih berdebar, Divan memegang tanganku erat entah mengapa terasa hangat dan sedikit menenangkan, aku belum sesiap itu untuk bertemu kembali dengan Audry tapi baiklah sudah waktunya aku menunjukan kepada dunia bahwa aku baik-baik saja tanpanya.
Aku sampai disana ketika mereka sudah melahap habis makanan-makanan itu. Aku mendadak kenyang, tak ingin makan. Aku segera bergabung dengan beberapa teman baik ku di SMA, Renat sudah menunggu dengan Pdkt-an barunya dengan wajah berseri-seri melihatku. Beberapa teman menatapku kagum dengan bangga-nya Divan memperkenalkan diri sebagai “calon-ku” hatiku ingin tertawa terbahak-bahak sebenarnya melihat acting Divan yang nyaris sempurna. Mata ku menyusuri setiap sudut ruangan, aku mencarinya, dimana dia? Apa dia tidak jadi datang? Gumanku dalam hati.
Seseorang menepuk pundak ku dari belakang. Raya ia tersenyum kemudian kami berpelukan. Rasanya lama sekali aku tak melihatnya. Banyak yang berubah. Anaknya sudah dua tapi tetap cantik.
“Siapa nih” sindir Raya sambil tersenyum menggoda
“Eh.. Ini..” Aku kikuk sendiri.
“Divan, Calonnya Gynta” Ucap Divan percaya diri sambil tersenyum.
“Ciee Gynta udah move on hehehe, cocok Ta jangan dilama-lama lagi. Gak ngiri sama gue yang udah beranak dua kali? Hahahahaha” sindir Raya sambil tertawa lepas.
“Gynta?” sapa seseorang dari arah belakang badanku, suaranya aku kenal dengan baik. Aliran darahku rasanya berhenti saat ini. Aku membalikan tubuhku perlahan.
“Audry Hy” sapaku kaku, kulihat dia memang tetap menawan, dan aku tetap terpesona olehnya. Senyumnya ya senyumnya yang sudah lama sekali tidak kulihat. Disampingnya berdiri seorang wanita yang sepertinya wajahnya kukenal bernama Fradella utami setahuku dia dulu murid SMA Pelita bangsa juga.
“Apa kabar?” sapanya hangat sambil menjulurkan tangan mengajak berjabat tangan, aku menyambut tangannya dengan dada yang masih terasa sesak.
“Baik, Eh Btw ini kenalin calon Gue” Ucapku, aku terhenyak tanpa sadar aku benar-benar mengatakan itu didepannya. Divan menatapku sambil tersenyum dan menjulurkan tangan kearah Audry yang sepertinya dia kaget malam ini.
“Divandra” Ucap Divan tersenyum puas.
“Audry, dan ini Della Ta, lo kenal kan? Anak Ipa 2 dulu.. hehe btw dia calon gue”
“Hay Del..” sapaku dengan wajah so berseri-seri, dan Della hanya tersenyum kecut entah maksudnya apa.
“Rumah lo masih disitu Ta?” Tanya Audry
“Masih hehe main-main lah kerumah sama Della sekalian”
“Iya ntar kalo ada waktu ya, eh Ta kita keliling dulu ya, seneng bisa ketemu lo lagi” sapanya sambil berlalu, tapi kulihat tatapan mata Della tidak begitu bersahabat, apa yang salah dengannya?
Tak terasa malam semakin larut satu persatu pun sudah berpamitan pulang dengan pasanganya masing-masing, entahlah hatiku rasanya begitu tak menentu aku mengajak pulang Davin dengan wajah tampak lesu, setelah berpamitan dengan semua yang masih ada disana aku bergegas pulang. Aku terduduk di bangku mobil milik Divan dengan wajah murung, petir menyalak diluar sana tak lama hujan gemericik turun dengan manisnya seperti mewakili perasaanku saat ini ditambah dengan lagu ten2five love is you yang mengalun lembut di tape radio milik Divan.
Pandangan mataku seketika seperti kabur. Bukan Karena tetesan air hujan yang membasahi sudut kaca jendela mobil Divan yang menyisakan embun menyeluruh, tapi Karena lelehan kristal es yang tidak butuh waktu lama untuk membanjiri kedua pipiku. Hati ku terasa sakit kembali, nyatanya hatiku masih ku taruh dalam didalam sana.. Audry.
“Jadi sekarang ini lo kenapa lagi?” tanya Divan memecah keheningan.
“Idih asli ya nggak ada basa-basinya sama gue, nanya apa dulu kek!” gerutuku sambil menghapus sedikit air mata.
“Lah gue harus basa-basi kaya gimana coba wong lo masuk mobil langsung mewek. Lagian kurang perduli apa sih gue sama lo? Beruntung lo punya temen deket kaya gue nih, Haha” jawab Divan sekenanya.
“Van.. gue kayanya paham kenapa dulu Audry mutusin gue tiba-tiba” ucapku
“Kenapa emang?”
“Iya jadi ternyata selentingan itu bener, gossip di sekolah saat itu bener. Cuma gue yang terlalu percaya diri kalo Audry mutusin gue Karna emang mau focus belajar, gue di boongin  dia Van. Dia mutusin gue Karna Della, iya cewek yang dia bawa barusan. Dan bahkan sekarang mereka mau menikah”
“Terus salahnya dimana? Ya oke gue tau Audry salah mungkin dia pada saat itu hanya seorang pria SMA yang pemikirannya masih sependek itu buat selingkuh dan memutuskan memilih cewek lain. Tapi ya udah karna semuanya pun udah terjadi 4 tahun yang lalu. Yang salah itu tinggal dari elo-nya kenapa elo harus begitu menyedihkan dengan tidak bisa melupakan seseorang yang udah jelas-jelas lupain lo. Salahnya ada di elo Ta”
“Audry my first love, my first kiss Van.. rasanya susah ilang, susah buat dilupain”
“Bukan gak bisa dan susah, elo nya aja yang belum mau” Divan terdiam wajahnya tampak kecut dan kesal denganku, aku tak perduli aku tak menggubris lagi perkatan Divan dan sibuk memandang ke arah jalanan yang sepi malam ini.
“Ta, sorry ya . tapi sumpah gue Cuma pengen liat lo bahagia. Jangan sedih-sedih lagi ya” Ucap Divan sebelum aku memasuki rumah. Aku tersenyum dan mengangguk sambil berlalu.
***
Hal yang membuatku begitu sedih saat ini adalah kenyataanya bahwa aku bukan lagi orang yang membuatmu bahagia. Aku bukan lagi penyebab dari tawamu . apakah iya, kamu dipertemukan denganku hanya untuk menyakiti?
Entahlah sudah tidak terhitung waktu yang kusisihkan untuk mengenangmu. Kamu ada dimana-mana, menjelma udara, angin, awan dan hujan. Etah berapa banyak rindu yang singgah setiap malam, itu semua diluar dayaku aku tak mampu menghentikannya. Tapi sepertinya aku tiba di pengakhiran luka, beberapa kata-kata Divan terngiang ditelingaku hingga aku sadar aku tak bisa selamanya berharap.
Pukul nol nol lewat dua belas dan aku masih enggan tertidur, aku mencoba menyibukan diri dengan beberapa tugas yang deadline tapi fikiranku tidak menuju kesana, fikiranku masih saja ada di waktu kita bersama 4 tahun lalu. Aku berjalan perlahan mengambil sekotak sepatu dibungkus dengan bungkus kado warna pink yang sengaja aku simpan rapi di atas lemari. Aku membuka tutupnya perlahan disana tersimpan puluhan foto aku dan Audry yang masih enggan rasanya untuk ku buang, ada liontin berbentuk hati hadiah ulang tahunku dulu darinya. Aku tersenyum tapi juga menangis, aku mencintaimu, masih juga merindukanmu, dan pertemuan kita tadi seolah memberi ruang pada kenangan untuk tetap tinggal.
“Taaaa…bangunnn..” ucap mama sambil menepuk-nepuk punggungku, aku terperanjat kaget sepertinya semalam aku ketiduran di meja belajar.
“Iya Bun iyaaa Tata bangun” ucapku sambil mengucek-ngucek mata, rasa kantuk masih bergelayut manja.
“Ta, ada yang nyari kamu tuh dibawah”
“Hah? Siapa? Divan? Suruh keatas aja Bun, biasanya juga langsung ke atas” ucapku sambil membawa anduk warna merah jambu.
“Bukan..”
“Siapa?” aku bertanya heran.
“Audry” Ucap Bunda setengah berbisik.
“APA?” Aku kaget setengah berteriak.
“Iya Audry ada dibawah sana, Kok dia kesini lagi Ta? Kalian balikan” tanya Bunda mulai kepo
“Lah Tata aja gak tau Bun.. yaudah Tata samperin dulu deh” Ucapku sambil bergegas menuruni anak tangga.
“Audry?” tanyaku heran saat melihat wajahnya yang berseri terduduk riang di ruang tamu rumahku sepagi ini, rasanya like a dream. Beberapa kali aku mencubit tanganku dan terasa sakit, ini bukan mimpi!
“Hay Ta.. kekampus jam berapa? Ada kuliah?” tanyanya hangat seolah kita memang sering bertemu dan akrab sebelumnya
“Hmmm.. ada kuliah jam setengah sepuluh sih, Btw ada angin apa nih?”
“Gue anter ya? Boleh? Lagi kangen aja”
“Oh gitu, tapi gue gak ngerepotin nih? Soalnya kaya tiba-tiba gitu gue jadi kaya heran haha”
“Iya soalnya semaleman gak bisa tidur gue kebayang lo terus Ta” Audry menatap tepat kedalam mataku, aku dibuat salting oleh tatapan matanya.
“Eh gue mandi dulu kali ya!” Aku mengalihakan pandangan dan pembicaraan agar Audry tidak merasakan gemuruhnya hati ku saat ini.
“Ta lo mau bareng gak….” Sapa Divan tiba-tiba dari balik pintu dan ternganga kaget karna melihat Audry di ruang tamu rumah ku pagi ini.
“Gynta mau berangkat bareng gue” Ucap Audry tegas dengan muka kecut mengarah ke Divan.
“Van.. Kita ngobrol didalem yah” Ucapku sambil mengajaknya ke ruang televisi yang jaraknya lumayan jauh dari ruang tamu.
“Kok???” Ucap Divan heran
“Gue juga gak tau.. beneran tadi pagi bunda bangunin gue dan dia udah duduk disitu..”
“Yaudah pura-pura gak mau aja, lo pergi bareng gue aja”
“Hm.. kayanya ini kesempatan gue deh Van..”
“Buat?”
“Buat semua pertanyaan gue”
“Udah lewat 4 taun udah basi kali Ta”
“Buat lo mungkin iya, tapi buat gue engga.. gue nunggu momen ini lama banget dan sekarang dia ada disini tanpa gue minta, jadi boleh yah”
“Terserah lo deh Ta, tapi kalo dia bikin lo dikit aja ngeluarin air mata.. gue bakalan turun tangan” ucap Divan sambil berlalu dengan mukanya yang ketus. Aku terdiam memperhatikan punggung Divan yang menjauh dan bergegas untuk segera bersiap-siap.
Tak sampai tiga puluh menit aku sudah siap dengan kaos polos berwarna putih lengkap dengan celana jeans casual dan tas selempang berwarna hitam dengan beberapa map yang berada ditanganku . aku terduduk manis di mobil Audry dengan banyak pertanyaan yang rasanya ingin meluncur dari mulutku namun ku tahan bulat-bulat. Aku melirik sekilas ke arah Audry dia tampak tenang namun sorot matanya menyipan seribu tanda tanya.
“Cowok tadi itu calon lo Ta? Kapan rencana merit?” tanyanya memecah keheningan.
“Hm.. Sebenernya sih gue sama dia Cuma temen deket, kita gak bener-bener pacaran” ucapku pelan, pelan sekali nyaris samar. Aku memang tidak pandai berbohong aku tidak pandai berakting seperti Renata atau mungkin Divan.
“Maksudnya?”
“Iya, kemaren Renat nyuruh Divan buat nemenin gue ke acara reuni karna takut gue sedih kalo harus pergi sendirian.. yaaa you know lah hehe”
“Jadi dia Cuma temen deket?”
“Iyasih, haha menyedihkan nya hidup gue”
“Seriusan?”
“iya serius”
“Gue sama Della semalem putus..” ucap Audry pelan
“Putus? Kenapa? Sayang banget..” Ucapku so soan merasa berempati.
“Gara-gara lo”
“Gue???” aku terheran kembali, sebulan ini sudah ada dua pasangan yang putus gara-gara aku.
“Iya”
“Kok Gue?? Haha”
“Della cemburu banget sama lo Ta.. kemaren kita berantem hebat karna gue nyapa lo, dan gue males banget sumpah sama cewek terlalu drama kaya Della.. jadi yaudah gue mutusin dia”
“Oh gituu.. sorry deh kalo gara-gara gue” ucapku lemas. Antara bingung harus senang atau sedih
“ya gak apa-apa juga sih, malah bagus. Jadi gue ada alesan buat mutusin dia.. Della terlalu posesive Ta. Gue capek”
“Lah tapi kan itu pilihan lo”
“Gue masih sayang lo Ta” ucapnya samar nyarisss tak terdengar aku melirik kearahnya merasa bingung harus berkata apa aku terdiam, tidak aku tidak boleh terbawa perasaan mungkin Audry hanya sedang gamang karna baru saja putus hubungan dengan Della. Perjalanan menuju kampus ku kali ini terasa sangat lama, entahlah aku merasa perasaanku tidak karu-karuan.
“entar kelar kampus jam berapa?” tanyanya tanpa menatap wajahku.
“kayanya sih kelar jam dua-an”
“Gue jemput lagi yah, boleh?”
“Serius?”
“serius”
“Oke,kontak gue aja ya, nomor gue masih yang dulu kok” ucapku sambil tersenyum dan menuruni mobil honda city berwana hitam milik Audry.
Aku melangkah perlahan sambil menundukan pandanganku ke bawah, beribu pertanyaan mencuat sekeras hati aku mencoba untuk tidak membawa perasaanku terlibat lagi, tetep saja rasanya tidak mungkin tidak melibatkan perasaanku lagi.
Mata kuliah pengantar bisnis berdurasi dua jam setengah itu aku habiskan dengan melamun, sedang tidak focus dengan sekitar sedang begitu ingin memeluk tubuh Audry dan berkata “aku juga masih sayang kamu”.
Tak terasa mata kuliah pengantar bisnis selesai, aku mengecek handphone ku beberapa kali namun nihil tidak ada sms atau telephone masuk dari Audry untuk ku. Mungkin dia lupa kalau dia sudah berjanji untuk menjemputku. Aku berjalan lemas kearah kantin dan memesan ice capucino sambil membuka laptop kesayanganku.
“DAAARRRR” Sapa Divan tiba-tiba menganggetkan lamunanku.
“IHHH LO TUH YAH” Ucapku sewot
“sewot amat, lagi Pms?”
“berisik deh lo”
“kenapa ?” tanyanya sambil menatap tajam kearah mataku, sepertinya Divan memang tau aku sedang tidak baik-baik saja.
“Gak kenapa-kenapa”
“Boong, kenapa? Udah cepet cerita sini”
“engga, gue baik-baik aja”
“Boong, Gynta gak pernah pinter boong”
“Audry…”
“kenapa lagi?”
“dia janji mau jemput gue lagi, tapi sampe sekarang udah lewat sejam lebih masih gak ada kabar”
“orang kaya gitu lo pegang omongannya?HAHA”
“gue berekpektasi terlalu tinggi kayanya Van”
“Udah deh, ngadem di café green yuk sambil makan ice cream gue yang tlaktir deh”
“maaf gue ngerepotin lo mulu ya Van”
“Apaan sih lo, yuk”
“Iya tunggu gue beresin laptop gue dulu”
Aku berjalan menuju lapangan parkir sambil tertawa melihat kekonyolan Divan yang sedang mencoba menghiburku.
“Ta!” Sapa seseorang tiba-tiba tak jauh dari tempat aku berdiri, aku membalikan badanku dan kulihat tubuh tegap Audry ada disana.
“Eh elo, gue fikir gak bakalan jadi jemput gue” Ucapku kikuk
“Tadi ada sedikit trouble di cafe maaf lupa ngabarin dan ngaret, yuk” ajaknya sambil menggenggam tanganku dan membuat ku salah tingkah, Divan menatap kearah mataku tajam entah apa yang ada difikirannya saat ini, aku berlalu meninggalkannya dan mengikuti langkah Audry .
Aku memasuki mobil milik Audry dengan wajah melongo, Audry tersenyum kecil memandang wajahku dan memasangankan sabuk pengaman mobil dengan wajah yang sumringah.
“Sorry telat” Ucapnya memecah keheningan
“Hmm iya gak apa-apa”
“Kamu beneran gak ada hubungan apa-apa kan sama cowok yang tadi?”
“iya gak ada apa-apa sih Cuma temen deket doang. Kenapa?”
“Boleh kalo aku minta kamu jaga jarak sama dia? Kok aku gak suka ya sama dia, maksudnya gak suka ngeliat kamu deket-deket sama dia”
“Loh? Emang kenapa?”
“Ya gak suka aja..”
“Gak ada alesan yang lebih kuat gitu selain “ya gak suka aja” ? “ tanyaku heran
“Kita pacarana lagi yuk Ta”
“Hah?”
“Iya, aku pengen nebus kesalahan 4 taun yang lalu. Gak ada yang terbaik selalain kamu”
“Della? Are you okay Dry? Belum sampe seminggu loh putus sama Della. Terlalu cepet”
“Sorry karna telat menyadarinya”
“Sorry karna telat sadar kalo kamu yang terbaik”
“Kasih aku waktu ya Dry..”
“Its Okay, No problem” Ucapnya sambil tersenyum manis sekali seakan membuatku terlihat sangat jahat Karena sudah menolak ajakannya untuk kembali bersama lagi.
“Aku sayang kamu Gynta” Ucapnya lagi sambil tersenyum dengan mata yang masih focus kearah jalan membuatku merasa salah tingkah.
“kenapa baru sadar sekarang? selama ini kemana aja?” aku mulai buka suara.
“kamu fikir selama ini aku baik-baik aja?”
“Ditinggal gitu aja kayak dibuang! Tanpa alasan yang jelas!”
“Kamu lupa?”
“Kamu mikirin perasaan aku engga saat itu?”
“Kamu yang bilangnya mau focus belajar dan ternyata malah pacaran sama Della dibelakang aku!”
“Kenapa baru sekarang kamu menyadarinya Dry?”
“Bahkan empat tahun semenjak kejadian itu aku belum bisa membuka hati untuk siapapun kamu fikir aku baik-baik aja?”
“And now you just say sorry?”
“And everything will be back ?”
“Semudah itu aku buat kamu ?” aku memuncak rasanya tak kuat lagi untuk dipendam cukup lama, Aku tak menyangka aku bisa berbicara selancar itu .
“Aku mohon jangan kacaukan lagi perasaanku yang sudah membaik saat ini” Aku menatap kearahnya tajam, tak lama petir menyalak diluar sana hujan turun dengan deras membuat suasana semakin sendu.
“Karena saat ini aku hanya ingin menjadi perempuan yang tidak mau dimiliki begitu saja. Aku akan terus menjadi rumit, menjadi sulit untuk dipahami dan dipecahkan. Jadi jangan bercanda lagi”
“Aku akan berusaha keras untuk memperbaiki segalanya Ta” Ucapnya lembut namun pasti, aku tak lagi bicara hanya sedang merasakan debaran jatungku sendiri yang semakin kencang.
“Yuk turun, udah sampe” Ajak Audry
“Kok kesini”
“Nostalgia awal pacarana sama kamu dulu”
Aku turun dari mobil Audry tertera tulisan besar “Café Keboen” awal pacarana dulu Audry mengajak ku ketempat ini. Sudah 4 tahun yang lalu tidak kesini belum begitu banyak yang berubah termasuk perasaan ku kepada Audry.
Aku memasuki café keboen yang bergaya vintage romantic itu Audry menggiringku ke taman belakang café ini, aku mengikuti langkahnya dari belakang dan tercengang kaget sesampainya di taman belakang café yang sudah di sulap sedemikian rupa dengan begitu cantik. Begitu banyak bunga berwana putih dan merah ditambah balon balon berbentuk love dan beberapa foto kita dulu yang digantung disetiap sudutnya. Lalu balon bertuliskan “will you marry me?” dengan ukuran cukup besar terpangpang disana, aku terharu dengan usaha Audry aku tidak bisa berkata-kata lagi, aku hanya ingin memeluk tubuhnya saat ini.
“will you marry me Gynta?” Ucapnya pelan sambil mengeluarkan cicin dari kantong celananya
“Audry sumpah aku…akuuu bingung harus ngomong apa..”
“Aku udah gak mau lagi Cuma sekedar pacaran, untuk membuktikannya mari kita menikah!”
“Tapi…”
“Aku sayang kamu Gynta”
“Ini terlalu cepat, kasih aku waktu ya Dry..sorry”
“It’s Okay, aku gak akan nyerah, Kita makan dulu ya” Ucapnya dengan senyum penuh kekecewaan.
Bukan aku sok jual mahal dengan bersikap seperti ini kepada Audry jujur saja rasaku kepadanya masih sama, tapi lukanya pun masih begitu melekat. Boleh kan sedikit saja aku melihat usahanya. Ini tidak sebanding dengan aku empat tahun ini merindukannya. Aku yang empat tahun ini begitu menderita karna mencintainya sendirian.
Kami menghabiskan malam yang terasa panjang berdua di café itu, mengenang segalanya menjelaskan segala tanya dan mengutarakan apa yang tidak sempat terutarakan. Aku lega kali ini aku sudah mengeluarkan semuanya, mengeluarkan segala tanya dan kepedihan hati yang ku simpan sendirian. Ketika waktu di jam tanganku menujukan pukul 00:00 kami memutuskan untuk segera pulang kerumah.
***
“Bunn.. Gynta pulang” Teriak ku saat memasuki rumah, aku yakin Bunda sudah tertidur pulas. Aku menaiki anak tangga dan bergegas menuju kamar.
“Lo baru balik?” Tanya Divan mengagetkan ku.
“Van? Dari tadi ?” tanyaku sambil melempar tas selempang ku kesembarang arah.
“Abis dari mana sama si playboy?”
“Lo tuh kenapa sih Van”
“Lo harus hati-hati Ta sama Audry, jangan terlalu percaya”
“maksud lo?”
“Jangan terlalu percaya diri apa yang dia lakukan ke elo itu sungguh-sungguh”
“Van, setiap orang tuh bisa berubah termasuk juga Audry”
“Gue gak yakin, emang lo yakin? Hati-hati Cuma dijadikan pelarian sesaat saat dia lagi ada masalah sama ceweknya”
“Please Van, tadi dia ngelamar gue! Pake makan malem romantic pake tulisan “will you marry me” lo fikir menikah itu mainan? Lo fikir kalo dia main-main buat apa sih itu semua Van???”
“Gue nungguin lo dari tadi, gue khawatir. Tapi bagus kalo lo baik-baik aja. Gue Cuma mau bilang Hati-hati, Gue liat apa yang ga harus gue liat dan semua sudut pandang gue berbeda tentang Audry dan semoga aja dia memang sudah lebih baik”
“Maksud lo?”
“Itu gue bawain martabak green tea, dimakan ya! Gue balik dulu”
“Tunggu Van, are you okay ?”
“Ta, boleh gue minta tolong sama lo satu hal?”
“What?”
“Peluk gue sekali aja malam ini sebelum gue balik, please”
“Lo lagi gak enak hati? Lo kenapa?”
“Please” Ucap Divan dengan wajah memelas. Aku memeluk tubuh kekar Divan, aku menganggapnya sebagai sahabat terdekatku orang yang setidaknya penting setelah orang tua ku, sahabat yang selalu ada untuk ku, jadi arti pelukan ini hanya sekedar itu. Aku memeluknya erat dia pun membalas pelukan ku dengan erat.
“Van, lo cerita dong lo kenapa?”
“Bokap nyokap lo berantem lagi? Lo tidur disini aja deh yah, kamar tamu kosong ko”
“Lo udah makan?”
“Ta.. makasih ya..” Ucap Divan sambil melepaskan pelukannya.
“Gue balik dulu”
“Lo yakin mau balik aja?”
“Gue bakalan cerita nanti kalo waktunya pas! Bye Gynta” Ucapnya sambil meninggalkan kamarku.
Entah mengapa bayangan Divan terasa nyata malam ini, sikapnya barusan sebenarnya membuatku nyaris salah tingkah. Divan ? apa ada yang salah dengan mu?
***
Sore ini, aku duduk di sebuah café ditemani secangkir cappuccino hangat, beberapa buku manajamen bisnis, dan laptopku. Kubuka tuga akhirku, aku berniat untuk menambahakan beberapa kalimat kedalamnya, namun rasanya malas sekali. Kupandangi sekelilingku, rata-rata pasangan yang sedang menikmati indahnya masa pacaran. Lalu Karena bosan kuputuskan untuk membuka aplikasi game “the sims” untuk sekedar mencerahkan fikiranku yang sedang kusut.
“Main game mulu, gimana tugasnya mau kelar” Ujar Divan sambil mengelus rambutku, kemudian terduduk didepanku dengan ice mocachino kesukaanya.
“Salah tempat nih kayaknya, orang pacaran semua, jadi envy, terus males ngerjain deh” Jawabku dengan muka BT.
“hahaha makanya, Lo move on dong” Ujar Divan lagi sambil tertawa lepas.
“Lo semalem kenapa si Van?”
“HAHAHA Semalem? Enggak kenapa-kenapa kok. Udah cepet kerjain dulu tugasnya tinggal nyalin doang sini gue bacain”
“Iya, Iya” aku membuka lagi tugasku kemudian mulai mengetik kalimat yang dibacakan Divan.
Hampir 2 jam aku mengetik tugas ku, tiba-tiba Audry berhenti membaca dan membuka ponselnya. Aku meneguk Capuccino ku yang tak lagi hangat.
“Ta, Gue harus jemput Nessa, Gue duluan yah. Lo lanjutin nih” Ujar Divan sambil memberikan buku ku.
“Nessa? Nessa siapa? Kok lo gak cerita?” Ucapku heran.
“Nessa, hahaha anak akutansi. Pdkt-an baru gue”
“Oh Nessa yang tinggi putih berwajah arab itu?”
“Iya Nessa yang itu!” Ucap Divan sambil tersenyum kearah ku.
“Oke, salam sama Nessa” aku tersenyum sambil mengambil buku dari tangan Divan.
Kemudian Divan pergi, meninggalkan keheningan lagi di hati ku. Perasaan apa ini? Aku sedang cemburu ? pada dia? Sahabat dekatku ?
Tak lama handphone ku berdering satu panggilan dari Audry. Entah mengapa hari ini aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. Aku mengabaikan telephone dari nya dan focus pada tugas ku. Tak lama Audry mengirimkan pesan melalui aplikasi line “jalan yuk” ucapnya disana. Aku sedang menahan diri untuk tidak membalasnya dengan cepat namun akhirnya aku balas juga “jemput aku di café Browny deket kampus” dan tak lama dia datang.
Dia terduduk didepanku, tapi rasanya berbeda dengan Divan ketika tadi ada di hadapanku. Aku merasa hangat merasa tidak perlu merisaukan apapun. Sedangkan kali ini ketika Audry yang terduduk disana fikiranku terasa sangat kacau, dan lagi-lagi logika dengan hatiku berperang. Lalu siapakah yang akan menang?
“Nonton yu” Ajak Audry manis
“Aku lagi banyak banget tugas nih Dry dan lusa harus dikumpulin, aku pengen cepet cepet nyusun skripsi biar cepet-cepet lulus soalnya”
“Hemm.. Oke, aku temenin disini aja sampe tugas kamu beres ya”
“Iya” Ucapku sambil tersenyum.
“Ta..”
“Ya”
“Jadi, kamu masih ragu?”
“Kita mulai lagi dari awal, kita perbaiki lagi. Kita menikah. Kita akan bahagia. Dan aku akan selalu berusaha membuat kamu bahagia”
“Audry, kamu bener-bener serius dengan ini?”
“kalo gak serius buat apa ini semua Ta! Buat apa aku capek-capek melakukan ini Ta!”
“Jangan gantungin aku, Aku mohon”
“Oke kita mulai lagi” Aku sudah Lelah dengan peperangan ini, kali ini hati ku yang menang.
“Maksudnya?”
“Ayo kita benahi, kita mulai lagi hubungan kita”
“Thankyou Gynta” kulihat wajah sumringah Audry terpancar disana, aku tersenyum lebar seolah penuh arti meskipun setidak yakin itu memulai nya kembali, semoga saja kamu benar Audry semoga saja kamu kali ini benar.. benar-benar untuk ku.
***
Aku tertidur di atas kasurku yang empuk, setelah habis menonton Film terbaru dengan Audry tadi. Benarkah aku masih mencintainya? Mengapa ada yang berbeda dengan rasa yang kali ini sedang aku rasakan?.
“Ta! “ Sapa Divan yang tiba-tiba masuk ke kamarku dengan suaranya yang khas.
“Van.. Lo abis dari mana?” entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Gue? Gue abis ngantern Nessa ketemu temen-temennya” Jawab Divan sambil membuka laptopnya.
“Gue ikut buka email ya, Wifi rumah gue rusak”
“ Gue udah milih” Ucapku masih dengan posisi yang sama seperti tadi.
“Memilih apaan?” tanya Divan cuek dan masih asik dengan laptopnya.
“Memilih menjalani dengan Audry. Mengiyakan ajakanya untuk bersama lagi”
“Oh.. Selamat. Semoga Lo menemukan kebahagian lo yang baru sesuai dengan yang lo inginkan”
“Lo sama Nessa gimana?”
“Gue gak mau buru-buru Ta, santai aja” Ucap Divan sambil tersenyum kearah ku.
“Maksud lo gue terlalu buru-buru memutuskan?”
“Engga, lah siapa yang bilang gitu..”
“Kok gue ngerasanya lo lagi nyindir gue”
“HAHAHA Baperan lu! Semoga lo bahagia ya Ta, Gue sayang sama lo” Ucapnya lembut membuat hati ku seolah bergejolak entah apa. Entah apa ini.
“Gue sayang lo, sayang banget”
“Maksud lo” tanyaku sambil terduduk di pinggir tempat tidur.
“Gue udah anggep lo lebih dari sahabat. Lo udah kaya adik,kakak, sodara, orang tua dan lain sebagainya buat gue. Lo itu penting buat gue Ta! Lo itu penting banget buat gue”
“Gue sayang sama elo Ta” Ucap Divan dengan senyumnya yang khas seolah pisau belati yang menusuk ke ulut hati ku. Ada apa dengan ku. Apa ini?
“Nah beres, Gue balik ya! Jangan begadang, lo harus tidur biar mata panda lo itu ilang” Ucapnya sambil membereskan laptopnya dan bergegas pergi.
“Van..”
“Ya?”
“Thankyou ya!” Ucapku
“Thankyou for what?”
“makasih udah ada dan mau jadi sahabat Gynta”
“Apaan sih lo! Hahaha udah ya gue balik” ucapnya dan berlalu.
Malam ini aku tak melihat kekecewaan dari mata Divan, hanya saja kata-kata “gue sayang lo Ta” milik Divan terdengar lebih tulus dan menusuk hati ketimbang pernyataan Audry.
***
Pagi ini aku duduk di kursi taman kampusku. Sejuk sekali rasanya pagi ini. Kulihat sekelilingtku beberapa mahasiswa berlarian menuju kelasnya mungkin, ada juga yang sedang berjalan ringan sambil berbincang dengan teman-temannya, ada juga yang akan melanjutkan mengetik tugasnya, iya, itu aku.
“Beteeeeeeeeeeeeeeee” Tiba-tiba Divan datang menghampiriku dengan wajah yang terlihat murung.
“Kenapa?” tanyaku sambil membuka laptopku.
“Nessa marah-marah sama gue”
“Lah gara-gara?”
“Gue telat jemput”
“Hahahaha”
“Gue kecapean banget tidurnya pules banget jadi kesiangan bangun dan Nessa ada kuis jam 7 sedangkan gue baru jalan dari rumah jam 7 kurang jadi dia gak bisa ikutan kuis dan marah-marah sama gue”
“Emang gak dibangunin? Alarm lo?”
“Hahaha kata nyokap sih udah dibangun tapi tidur gue kaya orang mati”
“HAHAHAHAHA, yaudah sabar bentaran lagi juga baikan kok” ujarku menenangkan
“Gak usah baikan juga gak apa-apa lah, ilfeel gue. Belum jadi pacar aja udah ngeselin”
“Dasar Playboy hahaha. Nih, pasti tadi engga sempet sarapan” aku memberikan kotak bekalku.
“hehe, tau aja Ta. Gue makan nih ya, biar engga keterusan emosi haha”
Aku mengangguk tersenyum melihat Divan memakan dengan lahap roti bakar yang ku buat.
“Tar balik kuliah lo dijemput Audry Ta?”
“Hemm kayanya sih iya, kenapa?”
“Engga kok, hehe take care ya. Dan makasih ini enak. Gue ada kelas nih. Gue duluan ya!” Ucap Divan kemudian berlalu. Aku menatap punggung Divan yang berjalan menjauh. Ada apa ini, sebelumnya aku tak pernah merasakan ini.
“Ta, Ada yang nyari tuh di kantin” Ucap Abe mengagetkan lamunanku.
“Hah? Siapa?” tanyaku heran.
“Nenek Sihir, Eh maksud gue, gue gak tauu tapi nyeremin kaya Nenek sihir” Ucap Abe sambil berlalu. Aku membereskan laptop dan beberapa buku ku dan berjalan menuju kantin.  Aku memasuki kantin sambil celingak celinguk mencari seseorang yang tadi dibicarakan Abe dengan hati yang penasaran.
“Disini” Teriak seorang wanita dengan baju berwarna hitam dan mata yang sangat tajam menatap ke arahku. Ya! Fradella dia ada disini, dia mencari ku dengan mimik wajah siap menerkam ku. Aku berjalan santai seolah biasa saja, dengan mimic wajah yang aku buat sepolos mungkin sambil mengatur langkah dan nafasku yang terasa kencang sekali.
“Hay Dell, ada apa nyari gue?” Sapaku ramah dengan senyum terbaik yang aku miliki.
“GAK USAH BELAGAK BEGO DEH, ATAU EMANG BEGO BENERAN?” Ucapnya sinis sambil setengah berteriak, beberapa pasang mata disekitar langsung memfokuskan matanya kearah kami, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.
“hmm.. Sorry nih Dell, Gue beneran gak faham dan kalo bisa volume suara lo kecilin dikit ya, gak malu emang teriak-teriak dikampus orang?” aku masih menggunakan Bahasa yang halus dan nada suara yang ramah.
PLAKKKK! Tamparan Fradella mendarat mulus dipipiku aku berdiri kaget sambil memegang pipiku yang terasa panas.
“Kenapa sih lo?” Aku bertanya masih dengan nada yang halus, sekarang semua pasang mata tertuju kerah kami.
“GAK PUNYA HARGA DIRI! PERUSAK HUBUNGAN ORANG! SEKALI LAGI GUE INGETIN YA TA, JANGAN PERNAH MACEM-MACEM SAMA GUE, KARNA GUE ENGGA AKAN SEGAN SAMA LO! JAUHIN AUDRY! DI PERUT GUE SEKARANG, ADA ANAKNYA DIA! DIA HARUS TANGGUNG JAWAB! LO GAK BISA BAWA DIA GITU AJA DARI HIDUP GUE! LO GA BISA HADIR LAGI DI HIDUP AUDRY! DIA MESTI TANGGUNG JAWAB” Della meracau, dia berteriak sekarang sambil menangis hebat, matanya merah, aku shock aku tak menyangka untuk sekian kalinya Audry membuatku merasa jatuh, jatuh yang teramat jatuh. Aku ingin memeluk Della kali ini, aku tau apa yang ia rasakan. Kacau, kalut dan entah apa mungkin lebih dari yang aku bayangkan. Aku tercengang, aku membisu.
“GUE TAKUT TAAAAA! GUE TAKUT AUDRY NINGGALIN GUE SENDIRIAN, GUE GAK MAU NANGGUNG MALU INI SENDIRIAN!! LO PEREMPUAN DAN GUE JUGA SAMA, LO HARUSNYA NGERTI PERASAAN GUE TA!” Della terduduk kembali kali ini dia menangis, aku menghampirinya dan memeluk tubuhnya yang bergetar hebat, namun Della mendorong tubuhku, wajahnya terlihat marah sekali. Aku kehabisan kata-kata.
“PLEASE JAUHIN AUDRY! GUE KESINI CUMA MAU BILANG ITU” Ucap Della sambil bergegas pergi sambil menghapus sisa air matanya di sudut matanya yang cantik itu. Aku terduduk di meja kantin rasanya muak. Beberapa pasang mata yang sedari tadi begitu ingin tahu perlahan satu persatu meninggalkan ku. Aku membawa tas laptop ku dan tas berisi beberapa buku sambil menahan air mata yang rasanya sudah tak kuat untuk terjatuh. Aku berjalan setengah berlari, berdiri tepat didepan kelas Divan, aku tahu mata kuliah Divan sebentar lagi habis.
“Gynta?” Sapa Rosa teman satu kelas Divan saat membuka pintu kelas untuk pulang “Vannnnn,, ada Gynta” Teriaknya memanggil Divan dengan nyaring, “Gue balik duluan ya” Sapa rosa dan aku hanya membalasnya dengan senyuman manis.
“Hay Ta? Kenapa?” Divan menyapa ku hangat, tanpa fikir panjang lagi aku memeluk tubuh Divan didepan pintu kelas disaksikan beberapa anak kampus teman sekalasnya Divan dengan heran. Aku menangis.
“Are you okay?” aku tak menjawab aku hanya menangis kencang sambil memeluk tubuh Divan dengan erat.
***
Permasalahannya adalah, Cinta. Aku sudah cukup banyak mencoba memahami hal tentang perasaan, sayang, dan hubungan akan tetapi mengapa lagi dan lagi aku harus merasa luluh oleh satu orang yang pernah membuat kesalahan fatal kemudian kecewa? Orang bilang, ini Karena terlalu cinta. Kufikir, tidak. Sebab cintakah bila terlalu? Dan lagi-lagi orang bilang, aku keras kepala, kubuat segala perih terasa sah-sah saja asalkan tidak kehilangannya. Aku tidak menyangkal itu, seperti aku yang tak bisa menyangkal rasa ini.
Hujan di luar mobil Divan turun dengan deras sama dengan di pelupuk mataku, aku menangis dengan kencang di mobil Divan dengan kekecewaan sebesar gunung. Aku tak menyangka Audry sejahat itu, aku tak menyangka aku terjebak cinta palsunya lagi.
“Perlu gue temenin?” Tanya Divan sambil mengelus rambutku halus.
“Gak usah, Gue sendiri aja” aku menarik nafas panjang, menuruni mobil Divan tanpa payung membiarkan hujan membasahi tubuhku sambil berlari kecil ke sebuah café milik Audry.
“Dry Café” tertera besar di depan café itu , café dengan gaya vintage yang kental sekali. Aku memasuki café itu perlahan sambil menghapus sisa-sisa air mataku. Café itu sudah sepi mungkin dikarenakan sebentar lagi akan tutup karna jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.
“Mas, Audry nya ada?” sapaku mencoba ramah kepada salah satu pekerja di café tersebut.
“Hmm.. Mbak siapa ya? Sudah ada janji sebelumnya?” Tanyanya
“Gue?” Tanyaku sinis.
“Iya Mbak siapa ya?” Ucap waiters itu mengulang pertanyaanya.
“Gue calon-nya Audry, sekarang Audry-Nya mana???”
“Oh, maaf mbak Pak Audry sedang tidak bisa diganggu untuk saat ini, mungkin bisa lain kali”
“Itu mobilnya ada diluar, gak bisa diganggu? Sesibuk apa sih?”
“Maaf banget mbak, tapi mungkin bisa lain kali…”
“AUDRY, KELUAR LO!!! KELUAR SEKARANG JUGA!!!” Aku berteriak seolah bukan lagi aku, aku benar-benar sudah tidak ingin lagi merasa kalah dengan hati ku.
“APAAN SIH RIBUT-RIBUT” Bentak seorang wanita sambil menuruni tangga dan menatap sinis kearahku.
“Siapa lagi ini” Gumanku dalam hati.
“LO FRADELLA?” Tanyanya ketus sekali
“Bukan nama gue Gynta, dan gue ada perlu sama Audry. Ini penting”
“GYNTA?”
“Gynta…” Ucap Audry dengan wajah kaget menatapku.
“Iya, Gue Gynta.. Gynta yang berkali-kali lo bego-begoin dan masih aja mau! Iya ini gue Gynta… yang selalu saja terjatuh dengan janji janji palsu lo! Iya gue Gynta, yang sebodoh ini masih mau terlena sama ucapan bulshit lo itu! Tepuk tangan buat lo Audry, dan ini siapa? Dia siapa? Ini yang lo lakuin sama gue ? sama fradella? Ini cara lo Audry? Gue ga nyangka lo sejahat ini, Audry yang gue puja dan puji sejahat ini. Audry yang kemaren ngemis-ngemis demi kesempatan kedua ternyata sebrengsek ini”
“Ta, denger dulu penjelasan gue” Audry menarik tanganku, aku menghempaskan tanganya dengan wajah yang teramat sangat marah. Seketika ruangan café itu terasa sangat dingin, dingin menusuk hingga ke jantungku.
“Penjelasan ? Lo anggap gue apa disini?” PLAKKK…. Tamparan mendarat mulus di pipi kanan Audry dari wanita berwajah judes tapi cantik itu.
“Mona, Please.. berkali-kali gue bilang, gue gak bisa sama lo, gue bener-bener gak bisa..”
“setelah semua ini, setelah penantian panjang gue? Setelah gue menunggu lo putus dengan fradella selama ini dan lo tetep engga bisa memilih gue? Setelah tubuh gue ini lo pake? What do you think Audry?” wanita itu mendorong tubuh tegap Audry hingga jatuh tersungkur kemudian menatap wajahku dengan sinis sekali seolah ingin memakan ku hidup-hidup.
“Lo, enggak seharusnya ada Gynta. Lo engga seharusnya ada disini” Ucap wanita itu geram dengan posisi tangan yang siap siaga menampar wajahku dengan keras.
“LO SENTUH DIA, URUSANNYA SAMA GUE!!!” Teriak Divan keras sambil membalikan kemudian memeluk tubuhku yang kaku dan pucat pasi.
“OKE, GUE AMBIL ALIH DISINI. SATU. KHUSUSNYA BUAT LO KAMPRET, KALO SEKALI AJA GUE LIAT LO GANGGU LAGI HIDUP GYNTA GUE GA SEGAN-SEGAN BUAT BIKIN HIDUP LO ANCUR LEBIH DARI BONYOK DI WAJAH LO. DUA. BUAT LO CEWEK KAMPUNG YANG GAK PUNYA HARGA DIRI, SEKALI LAGI GUE LIAT LO GANGGU HIDUP GYNTA, GUE BAKALAN BIKIN LO NYESEL UDAH PERNAH HIDUP DI MUKA BUMI INI.” Ucap Divan geram dan membopong tubuhku keluar dari café, namun sebelum keluar dari café itu sempat aku melirik Audry dan berkata kepadanya “Terimakasih untuk rasa pahitnya” lalu aku berlalu.
**
Semenjak kejadian itu, aku jadi tak banyak keluar rumah bahkan keluar kamar. Selain karna masih merasa terpukul sudah beberapa hari ini hujan turun terus-menerus. Aku masih suka melihat titik-titik air di kaca jendela, aku masih suka dengan aroma hujan ketika turun membasahi tanah. Dan perlu kamu tahu, aku memang masih mencintai hujan, bahkan sangat. Hanya saja kali ini, alasannya bukan lagi kamu, tidak pernah lagi kamu. Aku hanya ingin menyatakan bahwa pertemuan hujan masih dan akan selalu menyenangkan, sekalipun bukan dan tidak akan pernah lagi tentang kamu.
Hari ini aku sepakat dengan tuhan mengenai rasa sakit, marah, benci ataupun kecewa yang berlebihan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua yang aku inginkan akan menjadi kepunyaanku, tetepi akan dikabulkan dalam bentuk yang lebih baik, kelak di waktu yang tepat.
Aku meraih laptop ku yang berwarna gold kemudian membukanya, ada beberapa email masuk yang belum sempat aku buka, tertera empat email dari kampus dan satu email dari Divandra. Hmm Divan? Semenjak kejadian itu dia bahkan tidak pernah mampir kerumah, tidak ada chat atau telephone, kufikir mungkin dia memberikan ruang sendiri untuk ku menenangkan diri. Kubuka isi email itu dengan segera.
Dear Gynta,
Aku tahu aku menyukai seseorang ketika aku bisa tertawa hanya Karena mendengar suara tawanya. Sesederhana itu.
Memiliki seseorang yang bisa menciptakan atmosfer tawa kapanpun dan dimanapun adalah hal yang sanagat membahagiakan.
Dan akan lebih membahagiakan lagi, jika akulah penyebab tawa mu itu.
Kadang-kadang dunia tidak lucu, dan juga tidak berusaha melucu, lalu kamu ada. Seolah-olah kamu memang hadir untuk membuat duniaku cerah, berseri dan indah.
Kemudian aku jatuh cinta, pada kamu dan tawamu.
Tapi kamu hanya tertawa, hanya tertawa…
Lalu aku tersadar, itulah bagian terlucu dari semuanya.
Karena bagimu, aku tidak mungkin bisa lebih dari pertemanan ini.
Sekali saja, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya melihat diriku sendiri dari matamu.
Itu saja, sudah cukup..
Aku membaca Email itu sembari menghapus beberapa titik air mata yang menetes di pelupuk mataku. Sejauh ini aku tak pernah sadar akan besarnya pengorbanan Divan, besarnya perhatian Divan. Mengapa seterlambat ini aku menyadari semuanya, semua perhatiannya semua caranya memperlakukan ku dengan begitu special. Mengapa baru sekarang aku menyadarinya, setelah sejauh ini.
Aku meraih handphoneku dan menekan nomor telephone Divan dengan tergesa-gesa.
“Hallo” sapanya hangat seperti biasa.
“Hallo, Van.. Lo dimana?” aku bertanya dengan nada naik turun tak karuan.
“Gue? Gue di kampus, kenapa?”
“Oke, lo masih lama disana?”
“Hmm kayanya sih, kenapa? Eh ada apaan sih?”
Klik telephone ku matikan sebelum menjawab pertanyaanya, aku bergegas berpakaian dan mengeluarkan mobil ku dari garasi dan bergegas menuju kampus.
Sepertinya hari ini sedang bersahabat denganku meskipun hujan turun dengan deras namun jalanan lenggang sekali hingga tidak memakan waktu yang lama aku sudah sampai dikampus, aku berlarian kecil menyebrangi lapangan kampus dan mencari sosok Divandra itu berada.
“DIVAN!!!” Aku berteriak keseluruh penjuru kantin, kulihat Divan sedang asik dengan laptopnya dan terheran-heran memandangku, aku tersenyum kecil dan berjalan cepat menghampirinya, aku terduduk di depan nya sambil tersenyum manis sekali.
“Tidak apa-apa pahit di awal, tapi manisnya belakangan aja. Kaya kopi, aku pernah memulai semuanya dengan pahit. Aku yang dihantui ketakutan ini dan itu. Dan dari semua kepahitan itu, kamu ngajarin aku untuk menerima semua hal yang menyakitkan, untuk engga nyerah menghadapi kondisi buruk. Karna kamu aku jadi kuat menanggung smuanya, sepahit apapun yang menimpa aku. Aku engga mau lagi melewatkan rasa manis dengan kamu yang mungkin engga akan pernah aku rasain kalo sama orang lain, jadi kamu mau?”
“Are you okay Ta?”
“Jadi kata siapa kita gak bisa lebih dari pertemanan ini?”
“kamu udah baca Email receh aku?” Divan baru ngeuh dan tersenyum malu, wajahnya memerah.
“Thanks ya Divan, sudah mengakuinya sebelum benar-benar terlambat…”
“Jadi kamu mau?”
“Yes, I do” ucapku penuh keyakinan disambut dengan wajah berseri milik Divan.
Terimakasih Divan dengan mu aku mengerti satu hal, ini bukan hanya tentang bahagia tetapi juga membahagiakan….

TAMAT.